Bedah Buku "Perempuan Berkalung Sorban"



Latar Belakang Penulisan Novel
Penulisan Novel “Perempuan Berkalung Sorban” dilatarbelakangi oleh ide Yayasan kesejahteraan Fatayat, LSM milik Nahdlatul Ulama Yogyakarta untuk membuat novel tentang pemberdayaan perempuan.
Tujuan penulisan novel tersebut adalah untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi perempuan yang diratifikasi oleh PBB.
Sumber fakta yang dikumpulkan untuk menggambarkan setting tempat dan yang fisik-fisik dilakukan di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah, yang salah satu di antara perkampungan tersebut terdapat pesantren salaf, di pegunungan dan ditemukan banyak orang-orang yang menunggang kuda.

Misi yang Diusung Penulis
Dilatarbelakangi oleh kondisi perempuan-perempuan yang ada di Indonesia dan budaya patriarkis yang masih melekat pada tradisi dan aktivitas di tengah-tengah masyarakat.
Ketertarikan penulis pada permasalahan feminisme melatarbelakangi seluruh karya tulisnya, mulai dari karyanya “Ibuku Laut Berkobar” (puisi, 1997) sampai dengan ‘Mikraj Odyssey” (novel, 2009).
Dalam novel PBS, ia ingin menegaskan bahwa perempuan harus punya kemandirian dan menguasai ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuanlah yang menentukan nasib perempuan.
Akar permasalahan perempuan harus disuarakan sekeras-sekerasnya ke permukaan, harus ada revolusi pemikiran bahwa masalah ini adalah sesuatu yang mendesak, soal penderitaan dan keterpinggiran perempuan dan solusi ke depan untuk menyikapi kondisi tersebut.

Mengenai Isi Novel
Sebenarnya jika kita telusuri perkembangan sastra di Indonesia, sudah banyak novel yang mengulas masalah-masalah keperempuanan. Contoh novelisnya : NH Dini, Ratna Indahswara Ibrahim, dll.
Dan topik yang diangkat dalam novel ini pun sudah merupakan konsumsi kita dalam kehidupan sehari-hari, mengenai hak-hak reproduksi perempuan.
Penulis menggunakan kata-kata yang ringan dan menceritakan kejadian dari sudut pandang sebagai pelaku utama (An-Nisa).
Pemeran protagonis (Annisa dan Lek Khudhori) mempunyai karakter yang kuat, masing-masing berkenaan dengan karakter perempuan yang mempunyai “need of success”, keingintahuan dan kekuatan dalam menghadapi “social rejection” yang tinggi, dan karakter laki-laki yang benar-benar diidam-idamkan oleh setiap perempuan (pintar, lembut, penyayang dan rendah hati).

Pemeran antagonis (Kiai Hanan, Samsuddin) yang merepresentasikan orang-orang yang paham tentang Islam (hanya secara tekstual), namun secara konteks tidak menganut sistem humanis dalam setiap perilakunya.
Pemilihan model penulisan yang sederhana, dengan meletakkan semua pemasalahan di awal novel dan memberikan solusi dari setiap permasalahan tersebut di akhir.
Dengan menempatkan porsi dialektis pemeran antagonis yang kuat di awal, pembaca digiring untuk berfikir bahwa banyak permasalahan di sekitar kehidupan pesantren (di luar pesantren juga) yang kurang memberikan peluang kepada perempuan untuk mengapresiasikan diri.
Dogma-dogma yang kuat mengikat terdapat pada bahasan mengenai pembagian aktivitas antara laki-laki dan perempuan, misalnya hal yang pantas dilakukan; menunggang kuda adalah kepantasan untuk laki-laki sedang untuk perempuan tidak (hal.7); memasak, mencuci, mengurus anak adalah kepantasan untuk perempuan sementara laki-laki tidak; bekerja mencari nafkah adalah kewajiban laki-laki, sementara perempuan memiliki kewajiban untuk mengurusi urusan rumah tangga (hal.12).

Bahasan mengenai fiqh yang tidak ramah terhadap perempuan, misalnya perempuan yang menstruasi dilarang masuk ke mesjid (hal.73), tentang jimak (hal.79), hak ijbar orang tua atas anak perempuannya (hal.90) dan potongan hadist yang menyatakan bahwa istri akan diazab bila minta cerai (hal.76).
Kasus KDRT yang dilakukan oleh Samsudin terhadap Annisa karena adanya nusyuz oleh Annisa terhadap Samsudin adalah puncak permasalahan yang ditampilkan dalam novel PBS.
Selain itu, terdapat kasus poligami yang dijalankan tidak sesuai dengan yang diajarkan dalam syariat Islam, misal pembagian hak istri antara Annisa dan Kalsum (hal.117).

Di tengah penceritaan novel PBS, sudah ada beberapa solusi yang ditawarkan oleh tokoh protagonis (Lek Khudhori), misalnya mengenai ijma’ (hal.170), tentang Al-Quran dan Fiqh (hal.171), hak ijbar orang tua (hal.177), pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga (hal.175).
Pembahasan dalam dua bab terakhir yang mengisahkan tentang kehidupan rumah tangga yang mawaddah wa rahmah yang dialami oleh dua pihak yang faham masalah kedudukan dan perannya masing-masing dan aktivitas keduanya di tengah-tengah masyarakat.
Intinya, novel ini selesai dalam menceritakan satu gambaran tentang kondisi kehidupan di kalangan pesantren khususnya dan masyarakat umumnya.

Penilaian Tentang Novel
Abidah El Khalieqy cukup kuat komitmennya untuk menjadikan karya satra sebagai alat kampanye media.
Tentu ini terlepas dari perdebatan tak pernah usai, antara seni untuk seni dan seni untuk kerja-kerja perubahan.
Tetapi novel Perempuan Berkalung Sorban, karya Abidah el Khalieqy, memberikan harapan yang cukup kuat untuk kerja-kerja perubahan, yang sebagiannya adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Sedikit Ulasan Mengenai Perempuan dan Gender
Dalam kajian antropologis Marxis, perempuan diposisikan sebagai alat produksi (means of production).
Perempuan dijadikan “alat produksi”, mesin pencetak manusia.
Menurut paradigma Marxis, jika kita ingin menguasai dunia maka kita harus menguasai alat produksi.
Jadi siapa yang dapat menguasai perempuan (“means of production” manusia) maka ia dapat menguasai banyak manusia.
Oleh karena itu, perempuan harus dikuasai, kedudukan sosial politiknya harus diperlemah.
Menurut kaum Marxis di situlah peran adat dan agama, memperlemah kedudukan perempuan agar dapat dikuasai laki-laki atau masyarakat patriakis.
Netralitas dalam positivisme hukum mengatakan bahwa harus ada kontrak sosial antara laki-laki dan perempuan untuk legitimasi norma sosial tentang hubungan laki-laki dan perempuan ke berbagai bentuk peraturannya.
Tidak boleh mempersoalkan apakah norma sosial pembagian kerja secara seksual tersebut adil.
Penganut teori positivisme hukum menganggap hukum sebagai potret dari realitas sosial atau bahkan realitas sosial itu sendiri.
Maka, untuk mengetahui bentuk pembagian kerja secara seksual (pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara laki-laki dan perempuan) yang sedang berlaku di Indonesia sekarang, seseorang dianggap cukup membaca-misalnya-KUHPerdata, UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan beberapa pasal dalam KUHPidana.
Padahal jika kita telisik lagi pasal-pasal dalam KUHPerdata, ada beberapa pasal yang sebenarnya masih bias gender.
Pasal 139 KUHPerdata memungkinkan suami-istri mengadakan perjanjian kawin (suatu perjanjian yang memungkinkan suami-istri secara individual mengelola harta kekayaan masing-masing), ini memungkinkan istri mandiri secara ekonomi.
Namun ini segera disangkal oleh pasal 140KUHPerdata yang menyatakan perjanjian kawin tersebut tidak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan kepada suami sebagai suami.
Maksudnya sesuai dengan pasal 105 KUHPerdata yang menyatakan “suami adalah kepala persatuan suami-istri” dan dengan demikian ‘suami wajib menjadi wali istrinya untuk menghadap ke hakim”
Suami wajib mengemudikan harta kekayaan milik pribadi istrinya, tapi setiap bentuk pemindahan tangan harta tersebut harus mendapat persetujuan istrinya.
KUHPidana Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang mempunyai individualitas seperti laki-laki.
Pasal 285 tentang perkosaan, mengisyaratkan korban bukan istri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk hubungan seksual. Dengan kata lain, kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak dalam bentuk hubungan seksual, tidak akan dianggap sebagai kejahatan terhadap HAM perempuan.
Padahal UU Penghapusan KDRT No. 7/1984 sebagai ratifikasi konvensi CEDAW sangat komprehensif mengatur larangan diskriminasi terhadap perempuan hampir di segala bidang kehidupan.
Namun terdapat jurang antara das sollen (apa yang ahrus dikehendaki terjadi oleh hukum dengan das sein (implementasinya dalam kehidupan sehari-hari).

Produk Islam tentang Hak-Hak Reproduksi Perempuan
Rumusan definisi perkawinan dalam fiqh secara eksplisit menempatkan perempuan hanya sebagai objek seksual, sebagai barang milik yang berhak dinikmati (milk al-mut’ah, milk al-budh).
Menurut mazhab hanafi, hak menikmati seks itu merupakan hak laki-laki, bukan hak perempuan. Maka suami boleh memaksa istri untuk melayani keinginan seksualnya.

Padahal dalam Al-Quran terdapat 5 prinsip dalam pernikahan :
Prinsip monogami : an-Nisa (4:3,129)
Prinsip cinta dan kasih sayang : Ar-Ruum (30:21)
Prinsip saling melengkapi dan melindungi : Al-Baqarah (2:187)

Prinsip pergaulan yang sopan dan santun : An-Nisa (4:19), At-Taubah (9:24), al-hajj (22:13)
Prinsip dasar dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan.

Al-Quran juga menjelaskan tentang :
Perkawinan sebagai perjanjian suci dan serius antara laki-laki dan perempuan :
Al-Ahzab (33:7), an-Nisa (4:21 & 154)
Hubungan egalitarian antara suami istri : Az-zariyat (51:49), Fatir (35
:11), An-Naba (78:78), An-Nisa (4:20), Yasin (36:36), As-Syura (26:11), Az-Zukhruf (43:12), Al-Baqarah (2:187), An-Najm (53:53)

Penutup
Kalau kondisi yang diceritakan dalam novel PBS adalah realitas yang ada di Indonesia, maka yang harus direvolusi adalah adat tradisi bangsa kita !
Artinya kalau perempuan Indonesia ingin membebaskan diri dari pelecehan terhadap dirinya dia harus meninggalkan adat tradisinya atau budayanya sendiri.
Apakah kita siap meluncur ke sana?
Atau kita harus memilah-milah, melakukan retruksturisasi atau reinterpretasi dan memodifikasi semua itu.

So, Welcome Perubahan…

Puspita Sari
(disampaikan pada bedah buku Kohati HMI Komisariat FKG USU, 05 April 2009)

Kebijakan Publik Responsif Gender

Konsep Dasar
Mexico Declaration, 1975
”Women have a vital role in the promotion of peace in all sphares of life, in the family, the community, the nation, and the world. Women must participate equally with men in the decision making process which help to promote peace at all the levels”.

Problem Dasar
- Sosial
Persepsi yang berbeda antar perempuan dan laki-laki mengenai peran sosialnya. Misalnya, perempuan sebagai pengurus rumah tangga, laki-laki-laki sebagai kepala rumah tangga; perempuan sebagai pengasuh anak, pengurus rumah tangga, sosok yang lemah; sedangkan laki-laki sebagai pelindung, penjaga keamanan, figur yang kuat, dsb.

- Politik
Pembedaan cara dimana laki-laki dan perempuan berbagi kekuasaan dan otoritas di ruang publik. Biasanya laki-laki berkiprah di level politik nasional dan politik tingkat tinggi; sedangkan perempuan lebih banyak bergerak di level politik lokal dan aktivitas yang berkaitan dengan peran domestik.

- Pendidikan
Pembedaan dalam hal kesempatan mendapatkan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Kebanyakan sumber keuangan keluarga diarahkan bagi pendidikan anak laki-laki, sementara anak perempuan tidak diarahkan untuk mendapatkan tantangan akademik.

- Ekonomi
Pembedaan akses antara perempuan dan laki-laki dalam hal pencapaian karir dan kontrol terhadap sumber daya maupun pengelolaan keuangan, serta sumber-sumber produktif lainnya, misalnya kredit, pinjaman, atau kepemilikan tanah.

- Agama
Penafsiran yang berbeda atau pemahaman yang kurang lengkap terhadap dalil agama akan mewarnai serta mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku menyangkut posisi laki dan perempuan

Realisasi Gender di Indonesia
Rendahnya Indek Pembangunan Gender di Indonesia
(Urutan ke-87 di dunia)
Human Development Index : 65,8
Gender Related Development : 59,2
Gender Empowerment : 54,6

Rendahnya Tingkat Partisipasi di bidang Politik Ekonomi dan Pengambilna Keputusan. Indonesia 32 Gubernur tidak ada perempuan. Sumut 23 Kab/Kota tidak ada perempuan.
Pemilu 1997 : 13%
Pemilu 2004 : 11,8%
Pemilu 2009 : ?

Jumlah PNS perempuan : 36,9 %
Menduduki jabatan struktural : 15 %

Inisatif
UU No 7 / 1984
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tahun 2004
PP No 9/2000 Gender Mainstreaming: Pengarusutamaan Gender
Model ARG (Anggaran Responsif Gender) sejak thn 2000

Kebijakan Publik
Women in Development(WID)
Fokus: Perempuan
Problem: Perempuan tidakdiikutsertakan dalam proses pembangunan
Tujuan: Pembangunan yang lebih efektif dan efisien
Strategi: Proyek-proyek Perempuan; Komponen Perempuan; Meningkatkan pendapatan perempuan; Meningkatkan keterampilan perempuan mengurus rumah tangga


Gender And Development(GAD)
Fokus: Relasi Perempuan dan Laki2
Problem: Relasi kekuasaan yg tidak seimbang menghalangi pembangunan yang adil dan partisipasi seluruh kalangan
Tujuan: Equitable, perempuan dan laki-laki berbagi kekuasaan secara setara, seimbang dan berkelanjutan
Strategi:Mengidentifikasi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang yang diputuskan secara bersama-sama oleh kelompok laki-laki dan perempuan, dan mengatasinya untuk memperbaiki kondisi tersebut.

Rekomendasi
Gender Mainstreaming
(Pengarusutamaan Gender)
Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender.
Memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dan bias gender.
Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun non pemerintah sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing.
Pengarusutamaan Gender akan berhasil, jika sudah dilaksanakan oleh semua kalangan masyarakat baik yang tergabung dalam lembaga pemerintah (departemen dan non departemen), organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi keagamaan maupun pada unit masyarakat yang terkecil yaitu keluarga.
Sasaran utama PUG sesuai Inpres No.9 tahun 2000 adalah Lembaga Pemerintah, BUMN dengan kewenangan yang dimiliki, Organisasi Swasta, Organisasi Profesi, Organisasi Keagamaan dsb.
Memperkuat kelembagaan, koordinasi dan jaringan pengarustamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan,pemantauan dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di segala bidan, termasuk pemenuhan komitmen – komitmen internasional, serta peningkatan partisipasi masyarakat.
Menganalisa data dan informasi secara sistematis perempuan dan laki untuk mengidentifikasi kedudukan, fungsi, peran, dan tanggung jawabnya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.



Dr. phil. Zainul Fuad, MA
Dosen IAIN SU
Direktur Eksekutif Institute for Peace and
Human Rights IAIN SU
(disampaikan pada Sarasehan Politik Perempuan Kohati HMI Cabang Medan di Binagraha Pemprovsu, 04 April 2009)

Perspektif Gender dalam Regulasi Kesehatan

Hak dan Kewajiban
Konstitusi WHO (1946) menyatakan bahwa kesehatan adalah hak azasi, manusia yang fundamental. Hal ini kemudian ditegaskan kembali dalam deklarasi Alma Ata (1978) dan Deklarasi Kesehatan Sedunia (1998).
UUD RI Tahun 1945
Kesehatan adalah hak azasi berarti :
Pemerintah menjamin ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessability) pemeliharaan kesehatan untuk semua secepat mungkin. (WHO-Health and Human Right Publ. Serien No. I. July 2002)

KESEHATAN IBU DAN ANAK INVESTASI SDM
2.1. Kesehatan ibu dan anak berkontribusi besar kepada INDIKATOR KESEJAHTERAAN BANGSA (HDI):
(1) Umur harapan hidup,
(2) Melek Huruf,
(3) Income/kapita
HDI Indonesia 110 dari 160 negara 2005

Umur Harapan Hidup dipengaruhi oleh
Angka kematian kasar
Angka kematian ibu (AKI)
Angka kematian bayi (AKB)
Angka kematian balita (AKABA)











Artinya:
setiap jam, 2 Ibu Indonesia meninggal
46 dari 1,000 anak Indonesia akan meninggal sebelum ulang-tahunnya yang ke lima:
Artinya lebih dari 225,000 anak Indonesia di bawah 5 tahun meninggal setiap tahun
atau 25 anak di bawah 5 tahun meninggal setiap jam











Kesehatan Ibu & nak dan MDGs
Tujuan 4: Kurangi Kematian Anak
Menurunkan 2/3 kematian balita 1990-2015
Indikator:
AKB
AKABA
Proposi bayi mendapakan imunisasi campak
Tujuan 5: Peningkatan KIA
Menurunkan ¾ AKI dibandingkan antara tahun 1990 - 2015
Indikator
Ratio Angka Kematian Ibu
Proporsi persalinan oleh LINAKES







PROGRAM APA YANG PRIORITAS UNTUK MENURUNKAN AKI & AKB ?




Masalah
Kompetensi SDM masih kurang
Integrasi belum optimal
Monev belum optimal
Dukungan dana yang masih kurang
Pemberdayaan masyarakat masih belum optimal
Sarana dan prasarana belum memadai/kompetensi /sesuai standar

Pemecahan Masalah
Meningkatkan kemampuan SDM dengan pelatihan
Koordinasi dengan organisasi profesi/sektor/program
Meningkatkan monev program
Dukungan Dana APBD Prop maupun kabupaten/kota
Peningkatan pemberdayaan masyarakat
Standarisasi /sarana dan prasarana

Tragedi Nasional
Di Indonesia setiap tahun terjadi 18,300 kematian ibu atau setiap hari terjadi 50 kematian ibu
Di Sumatera Utara setiap tahun tahun terjadi 132 kematian ibu ???
Mengapa Tragedi ini hrs terjadi ???
Padahal pengetahuan dan teknologi untuk mencegah kematian telah tersedia

Apa yang Harus Dilakukan?
Melaksanakan Strategi Percepatan Penurunan AKI dan AKB

Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kes. Ibu, bayi baru lahir dan Balita yg cost efektif didukung oleh:
Kerjasama lintas program dan lintas sektor terkait, mitra lain, pemerintah, DPR, Organisasi Profesi, swasta
Pemberdayaan perempuan dan keluarga
Pemberdayaan masyarakat



Jika Persalinan oleh nakes rendah (<85%), peningkatan Linakes akan menurunkan AKI

Untuk meningkatkan Linakes, penelitian dan pengalaman menujukkan perlu:
peningkatan distribusi tenaga kesehatan
(insentif untuk mengunjungi daerah sulit)
menurunkan hambatan biaya (memperluas askes)
menurunkan hambatan kultural

Di wilayah di mana Linakes cukup memadai,
peningkatan ketrampilan tenaga kesehatan adalah
cara terbaik untuk menyelamatkan jiwa. Contohnya:

Manajemen kala tiga oleh seorang bidan dapat
mengurangi 60% kematian karena perdarahan

Mengetahui tanda–tanda awal dan
melaksanakan rujukan
kegawat-daruratan ke fasilitas yang
memadai dapat mengurangi 30-80%
kematian Ibu dari infeksi dan eklampsia

Kesimpulan
Kematian Ibu:
Untuk menurunkan AKI nasional dari 307/100,000 menjadi mencapai MDG (125/100,000), Indonesia harus :
Meningkatkan cakupan Linakes Terampil menjadi 85%
Meningkatkan keterampilan Bidan dalam PONED dan PONEK

Demikian juga program mencegah anak mati sudah ada program-program cost efektif
Imunisasi TT2 pada ibu hamil dapat mencegah 100% kematian Bayi Baru Lahir karena tetanus.
Pemberian ASI Segera selama sebulan, tanpa makanan tambahan lainnya, dapat mencegah 22% bayi dari kematian BBLR.

Linakes terlatih akan mampu meresusitasi bayi dengan asfiksi, serta mencegah infeksi terjadi pada saat pasca-persalinan. Pada kunjungan neonatal (KN1), Linakes terlatih dapat mengatasi infeksi pada bayi.

Tindakan tersebut dapat mencegah 30% kematian bayi baru lahir karena asfiksi, serta 90% kematian karena infeksi.

Kebiasaan cuci tangan dengan sabun dapat mencegah hingga 46% kasus diare pada balita, dan dapat mencegah 33% kematian karena diare.
Pelaksanaan protokol “menejemen terpadu bayi sakit” (MTBS) dapat mencegah 60% kematian anak akibat ISFA/Pneumonia.

Akan tetapi, pendekatan MTBS belum jalan dengan baik di Indonesia, dan akan memerlukan investasi yang cukup besar.

Immunisasi lengkap pada Bayi di bawah 2 tahun (UCI) dapat menurunkan kematian dari campak sebanyak 86%
Karena itu, program gizi juga penting. ASI Eksklusif adalah salah satu intervensi gizi yang paling efektif, dan dapat menurunkan kematian Balita yang terkait gizi buruk sebanyak 10%.

Kematian Anak
Untuk menurunkan AKA dan mencapai MDG (15/1,000), Indonesia memerlukan:
Menurunkan kematian bayi baru lahir melalui TT2, Persalinan Linakes dan pemberian ASI
Meningkatkan perilaku sehat, terutama pemberian ASI dan cuci tangan
Meningkatkan cakupan immunisasi
Memperluas pelayanan MTBS

Keuntungan Investasi pada Ibu dan Anak
Meningkatkan kesejahteraan:
HDI
Mengurangi beban berat keluarga
Menciptakan SDM yang berkualitas
Menjalankan mandat Konstitusi
Menjalankan mandat UU:
Menjalankan Mandat global
Efektifitas Anggaran Pendidikan

Apa yang harus Diperbuat oleh Legislatif?
Semua program di atas sudah ada dan sudah cukup lama dikenal di Indonesia, tapi mengapa masih tinggi AKI dan AKB di Indonesia?
Fungsi budgetting: Cukupi anggaran untuk pelaksanaan program tersebut dengan:
Lengkapi input menurunkan AKI:
Nakes berkompeten
Bidan di desa (polindes dan desa siaga)
Dokter di puskesmas
Dokter kebidanan dan kandungan di RS rujukan
Pelatihan yang belum kompeten
Alat yang cukup
Obat yang cukup
Ketersediaan darah
Bebaskan hambatan biaya transportasi dan biaya RS
Cukupkan biaya operasional

Legislasi: Bagi peran antara daerah dan pusat baik dari sisi pelaksanaan mau pun pendanaan
Monitoring: awasi seluruh pelaksanaan pada program-program yang cost efektif dan anggaran banyak habis di tingkat bawah serta Libatkan masyarakat baik dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan DENGAN UKURAN KINERJA

PP 25/2000
Wewenang Pusat:
Standar gizi, sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi
Pedoman pembiayaan kesehatan
Standar akreditasi sarana dan prasarana
Standar pendidikan & pendayagunaan nakes
Pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan, dan pengawasan tanaman obat
Pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi dan standar etika penelitian
Pemberian izin, pengawasan obat dan industri farmasi
Penetapan persyaratan pengunaan zat adiktif dan pengawasan makanan
Penetapan kebijakan JPKM
Survailans epidemiologi, pengaturan, penanggulangan wabah, penyakit menular, dan KLB
Penyediaaan obat esensial.

Kewenangan provinsi :
Pedoman penyuluhan/kampanye kesehatan
Kelola dan izin RS khusus
Sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi
Survailans dan penanganan wabah dan KLB
Penempatan tenaga strategis, pindah tenaga khusus antar kabupaten, pendidikan dan pelatihan

Wewenang Kabupaten/Kota:
Tidak ada aturan setingkat PP atau Perpres
Yang ada: SK Menkes 1457/2003 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM)
Akibatnya:
Kurang “greget” karena daerah kurang patuh atau tidak ada konsekuensi. Akhirnya, banyak daerah kurang bahkan tidak mendanai program KIA.

Eksekutif perlu membenahi :
Peningkatan Akses dan kualitras pemberian pelayanan MNCH
Peningkatan kesadaran dan kemauan masyarakat menggunakan fasilitas pelayanan MNCH
Peningkatan kerja sama antara pemerintah dengan unsur swasta
Peningkatan kapasitas Dinkes kesehatan daerah

Fokus pada pelayan KIA esensial
KB
Immunisasi
Persalinan oleh tenaga kesehatan
Pelayanan obst/neonatal emergency
KIA
Gizi bumil, menyusui, balita
MP-ASI (khusus ibu menyusui dari Gakin)
MTBS
Personal hygiene
Sanitasi/lingkungan rumah tangga

Pembangunan kesehatan ibu dan anak merupakan investasi jangka panjang
Investasi ini tidak dapat diperlihatkan secara fisik kepada masyarakat  butuh komitmen yang tinggi terhadap generasi penerus bangsa dari legislatif dan eksekutif
Biayai program kesehatan ibu dan anak yang cukup
PERLU PERSPEKTIF GENDER UNTUK PROGRAM KESEHATAN BAGI CALEG PEREMPUAN

Dr.H.DELYUZAR Sp.PA(K) DIREKTUR JKM (JARINGAN KESEJAHTERAAN/KESEHATAN MASYARAKAT)
(disampaikan pada Sarasehan Politik Perempuan Kohati HMI Cabang Medan di Binagraha Pemprovsu, 04 April 2009)

Perspektif Gender dalam Regulasi Pendidikan

Pendahuluan
Pendiri Negara menempatkan pendidikan sebagai tujuan Negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia (laki-laki dan perempuan)
Kualitas sumberdaya manusia dapat ditentukan dan ditingkatkan melalui pendidikan (formal, non-formal dan informal).
Kesenjangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan masih ditemukan diberbagai bidang termasuk pendidikan, walaupun Indonesia pernah dipimpin presiden perempuan.
Posisi perempuan belum berada pada posisi yang diharapkan dan belum menggembirakan.
Data statistik menunjukkan bahwa perempuan masih tertinggal disegala bidang dan bahkan sengaja dikebelakangkan atau dipinggirkan.

Pengertian
Gender : ”genus” berarti tipe atau jenis.
Pengertian laki-laki dan perempuan yang dibuat oleh masyarakat /budaya
Bentukan masyarakat (konstruksi sosial) yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin, tercermin pada konsep tugas, fungsi dan peran.
Konstruksi sosial budaya mengenai sifat-sifat feminin (keibuan) dan maskulin (kelelakian) yang berbeda dikarenakan masyarakat itu beragam dan dinamis, sebab itu sifat-sifat gender bisa berbeda menurut tempat dan waktu.

KBBI: perspektif = sudut pandang
Perspektif gender: merupakan sudut pandang yang sudah memperhitungkan kepentingan perempuan dan laki-laki.

Perspektif Gender dalam Regulasi Pendidikan
Peraturan yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pendidilkan di Inonesia saat ini antara lain adalah:
UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen
UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Berbagai peraturan tentang pendidikan di Indonesia tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki atau dapat dikatakan netral gender tetapi hasil atau akibatnya masih bias gender.







Potret Perempuan Indonesia
HDI/IPM berada pada urutan 108 dari 177 (HDR 2006)
GDI/IPG berada pada urutan 81 dari 136 Negara (HDR 2006)
GEM/IDG mencapai nilai 61,3 (2005)
Buta Aksara (usia>15 thn) perempuan 12,4% dan laki-laki 5,6%
AKI 307/100.000 kelahiran hidup

TPAK perempuan 48,63% dan laki-laki 84,74%
Kerterwakilan perempuan di DPR 11,6%, DPD 21,9%, DPRD Provinsi 10%, DPRD KAB/KOTA 6%
Masih ada 21 UU dan puluhan perda yang bias gender
PNS perempuan 40,6%, hanya 12,3% eselon 1-3
Menteri 4, Gubernur 1, Bupati 9, Wakil Bupati 10, Walikota 1
Kasus-kasus kekerasan (KDRT), diskriminasi, trafiking dan eksploitasi













Kesenjangan Gender dalam Pendidikan
Akses dan Pemerataan
indikator: angka partisipasi sekolah (APS), angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi Murni (APM), angka buta aksara/angka melek aksara.
Mutu dan Relevansi
indikator: angka putus sekolah, angka mengulang kelas, keberadaan materi bahan ajar, proporsi menulis bahan ajar perempuan terhadap penulis laki-laki, proporsi siswa perempuan terhadap siswa laki-laki menurut program studi pada jenis pendidikan kejuruan dan jenjang pendidikan tinggi.
Manajemen pendidikan,
indikator: kebijakan , pelaksanaan kebijakan serta proporsi perempuan terhadap laki-laki dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Penutup
Regulasi pendidikan umumnya netral gender, tetapi hasilnya bias gender.
PUG pendidikan telah dilakukan dan sudah memasuki tahun ke delapan, tetapi perubahan sikap (perspektif gender atau sensitif gender) dari pengambilan keputusan belum memadai.
Masih perlu waktu untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Meuthia Fadila Fachruddin
Kepala PSGPA - Unimed
(disampaikan pada Sarasehan Politik Perempuan di Binagraha Pemprovsu, 04 April 2009)

"Fear of Success" di Kalangan Wanita Karir



“Fear of Success” (kekhawatiran untuk meraih sukses dikalangan wanita karir :
Merupakan disposisi yang stabil yang diperoleh pada awal kehidupan seseorang berkaitan dengan standar identitas jenis kelamin (Morgan 1984)
Timbul karena adanya dugaan yang realistik (pengalaman) terhadap konsekuensi negatip yang akan diterima oleh wanita karena penyimpangan terhadap norma-norma masyarakat

Sebab-sebab timbulnya “fear of success”
Ada dua jenis situasi kompetisi yang dihadapi wanita karir :
a. Non-Competitive Oriented Situation (Situasi orientasi yang tidak kompetitif)- Kompetisi untuk memenuhi target yang telah digariskan secara umum
b. Interpersonal Competitive achievement Oriented Situation (Situasi kompetisi antar pribadi)
kompetisi antar pribadi, sukses yang diperoleh seseorang, berarti kegagalan pada orang lain (pria)
situasi kompetisi yang kedua ini menampilkan sifat agresif dan maskulin, sehingga dalam situasi seperti ini wanita tidak tepat untuk terjun.

Harapan Masyarakat (Social Value Expectation) :
Wanita melayani orang lain, pekerjaan yang cocok ialah : ibu rumah tangga (full house wife)
kalau bekerja diluar rumah : guru, bidan atau perawat.
Dibidang ini, mereka boleh menunjukkan prestasi yang tinggi (non-interpersonal competition),jadi kompetisi yang tidak mengalahkan orang lain, terutama laki-laki

Dampak “fear of success” :
menutupi kemampuan agar tidak melampaui kemampuan laki-laki
menyesuaikan diri dengan antisipasi (harapan) masyarakat agar wanita tetap sebagai sub ordinate laki-laki.

Feminim dan Maskulin
Budaya telah menentukan sifat-sifatfeminine dan maskulin sbb :
Feminim Maskulin
-- tidak agresif -- agresif
-- tidak independent -- independent
-- penurut -- dominan
-- tidak kompetitif -- kompetitif
-- pasif -- aktip
-- sulit membuat -- dapat membuat
keputusan keputusan
-- tidak ambisius -- sangat ambisius
-- peka thd perasaan -- tidak peka
-- butuh pengamanan –- tidak butuh

Sosialisasi Peran Jenis Kelamin
Keluarga (secara struktural merupakan acuan pembentukan model & steriotip)
Media masa (menunjukkan konsekuensi apa yang dihadapi kalau wanita melanggar)
Teman sebaya (peer group) – berfungsi memberikan contoh aktual
Lingkungan Budaya, berperan besar dalam sosialisasi nilai-nilai, model, ganjaran dan steriotip peran jenis kelamin.

Perwujudan Tingkah laku “Fear of Success” :
Mengabaikan tugas
Menolak pemberian promosi
Mengalihkan bidang kegiatan
Bekerja pada pria (walupun wewenangnya melebihi kedudukannya)
Mendukung prestasi suami atau anaknya
Menurunkan prestasi kerja
Menjadi orang kedua dari seorang tokoh

Beberapa hasil penelitian :
1. Meutia Nauly (1992-1993) :
Penelitian dengan mengambil sample wanita karir (yang belum berumah tangga) dan berpendidikan minimal D-3/S-1 dilakangan etnik Batak, Jawa dan Minang, menunjukkan : Perbedaan tingkat FoS antara ketiga kelompok suku ini: Wanita Minang memiliki tingkat FoS yang paling rendah sesudah wanita Jawa dan Batak. Hal ini sesuai dengan perbedaan struktur wanita dalam kehidupan budaya ketiga kelompok etnis tersebut.

2. Usman Pelly (1992-1993) : Penelitian dikalangan mahasiswa kota Medan menunjukkan bahwa :
Kehidupan di kampus telah memberikan suasana lingkungan, struktur sosial dan akademik, yang memungkinkan wanita mengembangkan konsep diri seoptimal mungkin, tanpa khawatir adanya social rejection dari masyarakat kampus sendiri.

Sukses demi sukses yang diraih seorang mahasiswi dalam kompetisinya dengan mahasiswi atau mahasiswa, telah memberikan rasa oercaya diri, kepuasan dan penghargaan yang tinggi kepada diri sendiri. Pengalaman ini telah mengkondisikan rendahnya tingkat “FoS” dikalangan mahasiswi.

Wanita Calon Legeslatif (Pemilu 2008):
Wanita yang maju sebagai calon legislatif pada Pemilu 2008 ini tidak sepenuhnya dapat dianggap sebagai turun kemedan kompetitip dengan pria. Karena berdasarkan UU perempuan telah diberi jatah 30%.
Walaupun demikian ternyata sangat sedikit wanita yang belum berumah tangga (masih single) yang menjadi caleg. Hal ini menunjukkan, di kalangan wanita remaja masih tinggi tingkat “FoS”!

IMPLIKASI PENELITIAN
Situasi yang menantang prestasi adalah situasi yang selalu bersifat kompetitif, aggressive dan maskulin. Budaya kita selalu menganggap tidak sesuai dengan kewanitaan, karena itu masyarakat mendesak wanita agar menghindarinya, artinya juga menghindari sukses.

PROF DR USMAN PELLY MA
ANTROPOLOG UNIMED
(Disampaikan pada Sarasehan Politik Perempuan: Penyatuan Visi dan Capacity Building Para Caleg Perempuan Kota Medan di Binagraha Pemprovsu, 04 April 2009)

Demokrasi dan Multi Partai di Indonesia



Sejarah Multi Partai dalam Pemilu
1955 : Pemilu yang Pertama diikuti 4 partai
1971 : Pemilu diikuti multipartai
1977-1997: Partai disederhanakan jadi 3 (5xpemilu)
1999 : Pemilu diikuti Multipartai
48 muncul, 21 yg duduk
Presiden dipilh MPR
2004 : Pemilu diikuti multipartai
24 muncul, 17 duduk, kuota 30% perempuan
Presiden dipilih lgsng
2009 : Pemilu diikuti multipartai
38muncul, ???

Pencapaian
Agenda bagi penyederhanaan sistim kepartaian berlangsung di tingkat nasional-dengan penerapan P.Threshold
Dengan penyederhanaan sistim kepartaian di tingkat nasional, positioning antara partai penguasa dan partai oposisi jelas terlihat terutama untuk kepentingan pemilihan presiden 2009.
Kompetisi antar partai cukup tajam untuk mendapatkan kursi sehingga memaksa pengurus maupun caleg untuk turun ke bawah dan kerja keras meraih kursi (dengan sistim suara terbanyak maka kompetisi Internal Partai jga cukup tajam).
Dinamika politikle lebih dinamis di lokal , CSO bisa berperan aktif mendorong perubahan dan pemajuan aspirasi

Kemunduran
Penerapan PT membatasi akses partai untuk mendapatkan kursi DPR tidak menyederhanakan jumlah partai yang ikut pemilu 2009. Partai peserta pemilu 2009 terdiri dari partai peserta pemilu 2004 yang mendapatkan kursi DPR ditambah partai baru yang lolos seleksi KPU yaitu yang memenuhi ketentuan UU pemilu dan partai lama yang bisa memenuhi ketentuan psl 315 tentang ET.

Inkonsistensi pada penerapan ET dan PT
Ketentuan PT 2,5 % untuk partai baru dan partai kecil membatasi peluang mereka untuk diperhitungkan dalam alokasi kursi DPR-RI (berdasarkan simulasi data hasil pemilu 2004 hanya akan ada 8 partai yang lolos)
8 partai yang lolos sesungguhnya hanya mendapatkan 60 % dari total suara nasional sehingga banyak suara yang hilang dan tidak diperhitungkan dalam alokasi kursi DPR.
40 % suara yang hilang bisa jadi merepresentasikan kepentingan, aspirasi, atau kelompok tertentu

Situasi ini akan menghasilkan banyak “partai lokal” yang memiliki kursi di DPRD Propinsi atau DPRD kab/kota tapi tidak punya wakil di pusat. Di tingkat lokal tidak akan tercapai keinginan untuk penyederhanaan partai dan penciptaan sistim multipartai sederhana.
Akibatnya proses politik di tingkat lokal akan menjadi lebih kompleks, berlarut dan berpotensi menjadikan proses pembangunan dalam kerangka Otda tidak akan berlangsung mudah dan mulus. Skenario terburuk politik uang, korupsi politik akan menjalar ke tingkat lokal.

Ketidak konsistenan dalam kewenangan penerapan dapil yang ditarik dari KPU kepada partai politik untuk menentukan jumlah dapil ( 77 dapil) dan alokasi kursi ( 3-10) di DPR, tapi tetap membiarkan kewenangan ini berada di KPU untuk penentuan alokasi kursi ( 3-12) dan dapil di daerah
Pengembalian suara ke dapil dan ke parpol dalam perhitungan sisa suara tidak diatur dalam UU pemilu dan harus ditangani KPU. Selain kesulitan dalam perhitungan akhir, penetapan kursi berpotensi mengundang pertikaian jika KPUD tidak tegas dan kompeten

Beban inkonsistensi dan ketidak jelasan akan beralih ke KPU/KPUD seta bawaslu untuk kasus-kasus yang di kriminalisasi
Ada ruang untuk money politics dan berpotensi suara hilang dan TIMBULNYA kecurangan lain
Peran CSO harus Optimal utk. Menjaga hal-hal tsb.

Tantangan
Tidak mudah bagi kandidat perempuan dan laki-laki bertarung memperebutkan kursi DPR-RI
* Kenaikan jumlah perempuan akan lebih dimungkinkan di DPRD propinsi dan kab/kota mengingat ketentuan dalam UU 10/2008 hampir tidak merubah secara substantif ketentuan pemilu 2004
* Tantangan terberat mengisi jumlah perempuan yang cukup di propinsi dan kab/kota

Paham UU Politik.
Kebanyakan anggota partai tidak menganggap penting UU dan menganggap lebih penting aturan internal partai, padahal aturan internal kadang tidak sesuai dengan ketentuan UU
Paham dan awas dengan munculnya kebijakan internal partai yang bertentangan dengan ketentuan UU Pemilu dan bagaimana mekanisme yang harus dilakukan.
Memikirkan strategi fund raising dan bagaimana melakukan jejaring vertikal dan horizontal agar perempuan yang sudah dalam posisi aman bisa menarik gerbong yang lebih banyak dan menjawab tantangan untuk mengisi kursi legislatif yang masih kosong di tingkat lokal

Untuk perempuan agar bisa terpilih menjadi anggota DPR-
RI dengan aman :
a. Partainya bisa melampaui PT 2,5 %
b. Total perolehan suara partai melampaui BPP di dapil sehingga partainya bisa mendapatkan kursi /lolos pada perhitungan tahap pertama.
c. Total perolehan suara partai bisa melampaui 50 % BPP di dapil sehingga, partainya bisa mendapat kursi/ bisa lolos pada perhitungan suara tahap 2
d. Total perolehan suara nya sebagai kandidat partai tersebut bisa memperoleh suara terbanyak di dapil maupun dlm. partainya

(disampaikan pada Pendidikan Politik untuk Perempuan Pemilih Pemula Kohati HMI Cabang Medan di Binagraha Pemprovsu, 21 Februari 2009)

PERNYATAAN SIKAP TERHADAP RUU TENTANG PORNOGRAFI

Women are full inspiration, perempuan memang makhluk yang luar biasa kompleks dimana dia mampu berjuang lebih untuk kaumnya. Ketika sejarah telah banyak memaparkan peran penting dari seorang perempuan dalam membangun bangsa yang beradab tapi sejarah juga menyebutkan bahwa banyak negara yang hancur justru karena perempuannya. Perlunya perlindungan terhadap hak-hak kaum perempuan sebagai benteng yang memberikan kepastian hukum di negara ini. Jika bukan kaum perempuan sendiri yang memperjuangkan kepentingannya, siapa lagi? Perempuan harus dilindungi bukan dieksploitasi. Dari rahim seorang perempuanlah akan lahir generasi penerus bangsa dan menjadi sebuah tanggung jawab bersama untuk menghantarkan negara ini menjadi sebuah negara yang bermoral dan bermartabat.
Namun, realitas menyadarkan kita bahwa perempuan berada dalam ambang kehancuran dengan adanya ancaman pornografi. Beberapa data sebagai fakta yang dapat diajukan :

Data kekerasan seksual yang menimpa anak-anak (usia di bawah 18 tahun) yang dihimpun oleh Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak di RSCM dari Juni 2000 hingga Juni 2005 menunjukkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan mencapai 1200 kasus dan pencabulan anak laki-laki sebanyak 68 kasus. Korban umumnya di bawah usia 16 tahun, dan pada umumnya dimulai ketika anak masih sangat kecil dan belum mengerti perilaku seksual.

Data dari Survei Yayasan Kita dan Buah Hati tahun 2005 menunjukkan bahwa lebih dari 80% anak berusia 9-12 tahun di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi telah mengakses materi pornografi, 25% melalui hand phone, 20% dari situs porno di internet, 12% dari majalah, 12% dari film/VCD/DVD. Remaja usia 19-24 tahun lebih parah lagi, 97% (artinya hampir semua) remaja pernah mengakses situs porno.

Anak-anak Indonesia kini telah dijadikan sebagai model gambar-gambar porno yang beredar di situs-situs internet atau website. Bahkan, menurut hasil survei dari Top Ten Review pada tahun 2006, anak Indonesia ditengarai merupakan jumlah terbesar yang dijadikan model pada situs tersebut. Dari 4,2 juta situs porno, 100 ribu di antaranya berupa situs yang menampilkan anak-anak sebagai objek seksual, dan yang terbanyak adalah anak-anak Indonesia, kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Masnah Sari, usai sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak di Graha Bumi Phala, Kantor Setda Temanggung, Rabu (9/4).

Di Indonesia pada tahun 1999 terjadi 2 juta aborsi, 750.000 di antaranya terjadi pada pasangan yang belum menikah. Wajar, karena penelitian BKKBN di enam kota di Jawa Barat tahu 2002 menyebutkan: 39,65% (artinya 4 dari 10) remaja pernah berhubungan seks sebelum nikah. (Lihat Sejarah Erotisme dan Seks Bebas, Umar Abdullah, Bogor: elMoesa Production, 2006).

Buletin al-Islam Edisi 315, setiap hari berbagai media (cetak maupun elektronik) selalu menyajikan berita tentang berbagai kasus yang mendera anak-anak kita. Pelecehan seksual, penculikan, penyiksaan, pembunuhan (bahkan sejak usia sangat dini dengan aborsi), perdagangan anak, anak-anak yang terbelakang karena kurang gizi, anak-anak putus sekolah, hingga kriminalitas anak.

Ancaman televisi, sekitar 60 juta anak Indonesia menonton TV selama berjam-jam hampir sepanjang hari. Berdasarkan penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2002, di Jakarta, misalnya, anak-anak menghabiskan sekitar 30-35 jam di depan pesawat TV selama seminggu atau 1560-1820 jam per tahun. Angka itu bahkan jauh lebih besar daripada jam belajar anak di Sekolah Dasar (SD) yang tidak sampai 1.000 jam setahun. Sementara apa yang mereka tonton di antaranya tayangan yang menampilkan ketelanjangan dan ataupun yang mengesankan ketelanjangan.

Meningkatnya jumlah masyarakat yang terkena penyakit yang mematikan di Indonesia. Diperkirakan 30 ribu orang terjangkit HIV/AIDS.

BBC dan CNN pada 2001 juga pernah melaporkan, Indonesia dan Rusia merupakan pemasok terbesar materi pornografi anak, di mana anak-anak ditampilkan dalam adegan-adegan seksual. (Republika, 21/5/06).

Sekitar 100.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya, di antaranya untuk bisnis seks. Indonesia bersama 22 negara lainnya dipandang sebagai sumber perdagangan manusia, baik untuk kepentingan dalam negeri maupun mancanegara. Salah satu tujuan perdagangan manusia adalah memasukkan perempuan dalam industri prostitusi.

Aborsi di Indonesia terjadi sebanyak 2,2 juta setahunnya. Maknanya setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri ia meninggal.

Ancaman pornografi dan seks bebas berdasarkan data Yayasan Kita dan Buah Hati pernah melakukan survei sepanjang tahun 2005 di antara kalangan anak-anak SD, usia 9-12 tahun. Respondennya 1.705 anak di Jabotabek, ternyata 80% dari anak-anak itu sudah mengakses materi pornografi dari bermacam-macam sumber: komik-komik, VCD/DVD, dan situs-situs porno. Di Indonesia, komik-komik porno harganya cuma Rp 2.000-Rp 3.000, sementara VCD porno bisa Rp 10.000 dua keping. Itu bisa dibeli di stasiun kereta, di depan sekolah, di depan kantor polisi, bisa di mana saja.

Terdapat 4.200.000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100.000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di Internet.

Maka kami dari seluruh elemen organisasi perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Anti Pornografi (APAP) sangat risau dan peduli akan moral bangsa MENYATAKAN SIKAP :

MENGUTUK DAN MENGECAM KERAS, PERSEORANGAN MAUPUN KORPORASI YANG TELAH TURUT ANDIL DALAM MEREBAKNYA PEREDARAN MATERI PORNOGRAFI YANG TELAH MENGEKSPLOITASI PEREMPUAN SEBAGAI KOMODITI SEKSUAL YANG MERUSAK MORAL BANGSA.

MEMANDANG PERLU LAHIRNYA PRODUK HUKUM YANG SECARA TEGAS MAMPU MENGATUR AGAR PORNOGRAFI TIDAK SEMAKIN BERKEMBANG LUAS.

MENDUKUNG DAN MENDESAK PENGESAHAN SEGERA RUU TENTANG PORNOGRAFI MENJADI UU TENTANG PORNOGRAFI DEMI MENYELAMATKAN ASET BANGSA TERUTAMA GENERASI MUDA INDONESIA.

PERAN AKTIF APARAT PENEGAK HUKUM, POLISI, JAKSA DAN HAKIM DALAM MENJALANKAN UNDANG-UNDANG YANG TELAH ADA.

MENGHIMBAU MASYARAKAT UNTUK KRITIS BERFIKIR SEHINGGA TIDAK TERHASUT ISU-ISU PARA PENENTANG RUU TENTANG PORNOGRAFI.

MENGHIMBAU KEPADA SELURUH PEREMPUAN DI TANAH AIR UNTUK MEMBENTENGI DIRI DAN KELUARGA DARI BAHAYA PORNOGRAFI SERTA TURUT ANDIL DALAM MENDUKUNG PENGESAHAN RUU TENTANG PORNOGRAFI.

October is Breast Cancer Awareness!

Kanker payudara merupakan penyebab kematian terbesar kedua untuk perempuan-perempuan Indonesia!

Pada tahun 2003, WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa kanker merupakan problem kesehatan yang sangat serius karena jumlah penderita meningkat sekitar 20% per tahun.

• Di Amerika Serikat 180.000 kasus baru per tahun
• Di Netherlands 91 kasus baru setiap 100.000 penduduk
• Di Indonesia sendiri, diperkirakan 10 dari 100.000 penduduk terkena penyakit kanker payudara.

CEGAH PENYAKIT KANKER PAYUDARA!!!

Caranya... by knowing your body... deteksi sejak dini!

Gejala-gejalanya:

a.Benjolan yang tidak hilang atau permanen, biasanya tidak sakit dan terasa keras bila disentuh atau penebalan pada kulit payudara atau di sekitar ketiak.
b.Perubahan ukuran atau bentuk payudara.
Kerutan pada kulit payudara.
Keluarnya cairan dari payudara, umumnya berupa darah.
Pembengkakan atau adanya tarikan pada puting susu.


Yang Beresiko Terkena Kanker Payudara:
1. Perempuan yang bertambah usianya
2. Riwayat keluarga (ibu, saudara) yang pernah mengidap kanker payudara
3. Pernah melakukan terapi radiasi di wilayah dada
4. Keturunan Kaukasia
5. Menstruasi awal (sebelum usia 12 tahun)
6. Menopause terlambat (sesudah 50 tahun)
7. Tidak punya anak, atau memiliki anak setelah usia 30 tahun
8. Mutasi genetis

Mencegahnya:
S A D A R I !!!
1. Amati...
2. Rasakan...
lengkapnya, lihat http://health.yahoo.com/breast-cancer-awareness-2007

Stop Perdagangan Orang

Pendahuluan
Manusia memiliki seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaannya sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh negara, pemerintah, hukum dan setiap orang demi kehormatan, perlindungan harkat dan martabat manusia. Berangkat dari hukum kodrat oleh John Locke bahwa ada tiga hak dasar yang bersifat umum bagi setiap dan semua manusia yaitu hak atas kehidupan, hak milik pribadi dan hak atas kebebasan.[1] Dengan kata lain, sebagal makhluk hidup yang berkesadaran dan berkehendak, dari kodratnya manusia memiliki hak untuk hidup, hak atas sarana untuk mewujudkan kehendaknya.

Dalam refleksi filosofis tentang pendasaran hak asasi manusia, martabat manusia dijadikan sebagai fundamen yang kukuh, di samping tentu kodrat manusia. Martabat berkaitan dengan nilai. Sejak hidupnya filsuf Jerman, Immanuel Kant, kita langsung mengerti martabat secara normatif. Martabat harus dihormati. Secara konkrit hal itu berarti bahwa manusia harus diperlakukan sebagai suatu tujuan sendiri dan bukan sebagai sarana belaka. Ketika manusia diperlakukan sebagai sarana maka tidak ubahnyalah manusia itu seperti komoditas barang yang diperdagangkan.

Wacana tersebut harusnya sudah menjadi suatu kesepakatan publik. Dimana tidak akan ada lagi pengangkangan martabat manusia. Tercipta kehidupan yang harmonis yang jauh dari segala macam pelecehan. Namun terlepas dari itu semua, semakin bertambahnya usia peradaban manusia ternyata semakin memberi dampak yang negatif terhadap sinergisitas kehidupan. Manusia yang seharusnya sudah mapan dan menjadi subyek produksi budaya malah terhegemoni oleh situasi perekonomian. Manusia memandang perkembangan sejarah peradaban seperti apa yang dikatakan oleh Hegel, yaitu sebagai skema metafisis proses rasionalitas manusia.[2]

Fenomena semacam ini banyak menghampiri kehidupan masyarakat kita yang berada pada taraf kesejahteraan rendah. Eksploitasi terjadi pada segala aspek; fisik dan non fisik. Tenaga kerja yang dipekerjakan tanpa upah pun semakin banyak. Dan lebih parahnya lagi bukan hanya tenaga mereka yang dikuras, tapi juga tubuh mereka yang 'digilas'. Yang banyak menjadi korban biasanya adalah pihak minoritas, yang tidak mempunyai kekuatan untuk melawan, perempuan.

Kasus menghebohkan yang sekarang ini banyak menimpa perempuan adalah perdagangan orang. Segala bentuk kompleksitas kekerasan ada di dalamnya. Hal ini banyak dialami oleh TKW, baik yang bekerja di luar maupun di dalam negeri. Kasus mulai dari gaji tidak dibayar sampai dengan perlakuan yang tidak wajar (kekerasan fisik). Kasus penjerumusan ke dalam lembah industri pelacuran dengan iming-iming akan dipekerjakan atau disekolahkan ke luar negeri.

Fakta di lapangan menunjukkan, kuantitas perempuan pekerja lebih besar jika dibandingkan laki-laki. Namun kalau ditelusuri lagi, lahan yang digarap perempuan biasanya bukanlah lahan-lahan basah. Posisinya paling rendah, dengan jam kerja panjang tapi upah kerja minimum. Karena kondisi ini pulalah, perdagangan orang tidak terelakkan oleh perempuan. Perempuan (yang termasuk dalam tingkat kesejahteraan rendah) masih berfikir dengan jalan sebagai subyek dagang, mereka akan meningkatkan taraf kesejahteraan hidup secara instan.

Indonesia memiliki sekitar 200 ribu pekerja seks. Satu juta pekerja rumah tangga dan satu juta tenaga kerja wanita.[3] Angka presentase yang sangat berarti telah dimunculkan melalui berbagai survei bahwa banyak dari mereka sesungguhnya merupakan korban perdagangan orang. Sumatera Utara yang merupakan daerah transit transportasi udara dan laut ikut andil dalam memperluas jaringan sindikat perdagangan perempuan.

Definisi Dan Besaran Masalah
Pelapor khusus PBB mengenai kekerasan terhadap perempuan (UN Special Rapporteur on Violence Against Women) mendefinisikan masalah perdagangan perempuan sebagai: All acts involved in the recruitments and/or services by means of violence, abuse of authority or dominant position, debt bondage, deception or other forms of coercion (Segala tindakan yang melibatkan perekrutan dan atau penyaluran perempuan dan anak-anak perempuan di dalam negeri maupun di luar negeri untuk bekerja atau memberikan layanan, yang dilakukan lewat pendekatan kekerasan, penyalahgunaan wewenang, perbudakan-pemerangkapan utang, penipuan, atau lewat bentuk-bentuk kekerasan atau pemaksaan lainnya).[4]

Definisi yang dijabarkan oleh PBB tersebut menjelaskan bahwa perdagangan perempuan dilakukan dengan pendekatan kekerasan. Korban direkrut dari daerah asal dikirim kepada calo/broker dan germo yang biasanya memegang kendali di daerah transit dan untuk selanjutnya diserahterimakan kepada pihak penerima di daerah tujuan.

Coalition Againts Women in Trafficking (CAWT) dalam laporannya menyebutkan, tujuan utama perdagangan perempuan adalah untuk kepentingan industri prostitusi.[5] Meskipun dalam perekrutannya seringkali disamarkan lewat iming-iming pekerjaan, pariwisata, bahkan kawin kontrak. Organisasi ini melaporkan adanya ratusan perempuan di Saudi Arabia, Taiwan, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Australia, Korea Selatan dan Jepang.

Selain keluar negeri, sebagian besar perdagangan perempuan sebenarnya juga terjadi di dalam negeri. Jumlah perempuan yang diperdagangkan dan diperangkap masuk dalam industri prostitusi sangat besar. Namun data resmi pemerintah hanya berjumlah ratusan saja. Berdasarkan laporan kasus perdagangan orang di Indonesia, jumlah korban dua tahun ini mengalami fluktuasi. Yang pada tahun 2005 jumlah kasus sebanyak 71 dan yang dilimpahkan ke kejaksaan hanya sebanyak 11,27 persennya saja (8 kasus) pada tahun 2006 mengalami peningkatan, ada sebanyak 126 kasus perdagangan orang sedangkan yang dilimpahkan ke kejaksaan sebanyak 64 kasus (50,79 persen).[6]

Luas dan kuatnya jaringan sindikat perdagangan perempuan dan prostitusi bisa dilihat dari besarnya uang yang dihasilkan dari bisnis tersebut. Menurut PBB perdagangan orang adalah sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9,5 juta USD dalam pajak tahunan. Selain itu perdagangan orang juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang sangat menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian (money loundring), perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen dan penyelundupan manusia.[7]

Banyak faktor yang mendukung meluasnya prktek perdagangan perempuan dan prostitusi, di antaranya, (1) ketiadaan pilihan akibat kemiskinan dan pengangguran yang membelit dan tersebar luas, (2) lemahnya posisi perempuan akibat kultur dan struktur patriarki dalam masyarakat Indonesia, (3) lemahnya komitmen dan kebijakan negara untuk mencegah dan menanggulangi masalah perdagangan perempuan dan prostitusi dan juga (4) banyaknya praktik kolusi antara jaringan pelaku perdagangan perempuan, pemilik industri prostitusi dengan aparat negara, termasuk aparat keamanan.

Komitmen Negara Dan Masyarakat Dalam Peretasan Tindak Perdagangan Perempuan
Sudah merupakan satu kemajuan dari pemerintah yang telah mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (UUPTPPO).[8] Dari yang sebelumnya sudah dilakukan peratifikasian beberapa komitmen internasional, antara lain Convention on The Ellimination of All Forms of Discriminations Againts Women (CEDAW) diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984 untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan, terutama pada bidang-bidang pendidikan, ekonomi dan ketenagakerjaan, kesehatan, hukum dan International Conference on Population and Development (ICDP) tahun 1994 yang isinya Negara peserta menyepakati programme of action untuk menegaskan kembali dan mengupayakan peran perempuan dalam pembangunan dan menjamin strategi baru yang berfokus pada kesetaraan, keadilan, dan pemberdayaan perempuan.

Hanya tinggal lagi standar tentang pengaturan pelaksanaan UU tersebut yang belum dirancang. Diharapkan peraturan pemerintah segera dikeluarkan sebagai aturan pelaksanaan untuk mempermudah jalannya pemberantasan perdagangan orang.

Selain komitmen pemerintah, penting adanya pembentukan gugus tugas di dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, peneliti/akademisi.

Pada masyarakat sipil perlu diadakan pendidikan hukum, pembangunan capacity building dan memasukkan materi khusus tentang pemberantasan perdagangan orang (terutama perempuan dan anak-anak, penghapusan kekrasan dalam rumah tangga) dalam mata kuliah perguruan tinggi.

Para akademisi perlu juga memberikan masukan dalam proses legal drafting dan membangun networking dengan stakeholder lainnya, melakukan advokasi penegakan hukum (ligitasi atau non ligitasi termasuk pendampingan) berkaitan dengan pemberantasan perdagangan orang.

Walaupun di Sumatera Utara sudah ada peraturan daerah tentang PTPPO, perlu diadakan peninjauan kembali untuk dilakukan penyesuaian dengan kasus-kasus yang berkembang, misalnya selain tenaga kerja (termasuk PSK), juga perdagangan bayi dan organ tubuh yang mulai marak terjadi.

Dan satu hal yang harus kita fikirkan bersama adalah penyediaan lapangan kerja bagi korban-korban perdagangan perempuan, terlebih lagi untuk mantan-mantan PSK yang sudah hidup normal kembali. Yang pasti, lapangan pekerjaan tersebut harus menjanjikan, menopang kesejahteraan hidup mereka sehingga tidak akan dikhawatirkan mereka kembali ke dunia perdagangan orang lagi.


[1]
Kristanto, J. B., Arsuka, Nirwan Ahmad, Bentara: Esei-Esei 2002, Kompas, Jakarta, Agustus 2002, hlm. 67.
[2]
Ibid, hlm. 127.
[3]
Rosenberg, 2003, hlm. 30
[4]
Sudirman, H. N., Lingkaran Setan Perdagangan Perempuan, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0110/22/nasional/ling36.htm
[5]
Trafficking in Women and Prostitution in Asia-Pacific,1998.
[6]
Data Perdagangan Manusia di Indonesia dalam www.lfip.org/report/traffickingdatainIndonesiatable.pdf
[7]
Agusmidah, Tenaga Kerja Indonesia, Perdagangan Manusia dan Upaya Penangulangannya, 30 Agustus 2007.
[8]
Deputi Bidang Perlindungan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Permasalahan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, 30 Agustus 2007.

Gerakan Lingkungan Memerlukan Topangan Teologis

Perkataan ”damai di bumi”, sekarang telah mendapat perluasan horizon kognasi yang semangkin spektakuler. Setidaknya, setelah hadiah nobel perdamaian diberikan pada Prof. DR. Muhammad Yunus, pahlawan Banglades yang telah berhasil melawan kemiskinan dengan Bank Garmeen di negaranya. Hampir 70% dari nasabah bank yang berjumlah jutaan itu dalam waktu yang relatif singkat dapat keluar dari garis kemiskinan. Semula, orang masih mendapat kesulitan menghubungkan pengertian perdamaian dengan pengentasan kemiskinan. Akhirnya masyarakat luas memakluminya juga bahwa ”damai di bumi” atau ”damai di hati” tidak akan pernah terjadi apabila manusia masih tetap dibalut kemiskinan dan kepapaan. Bukankah damai merupakan salah satu dari nilai alam tabi’i (nature), sedang alam jagat raya itu adalah manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Antara damai di bumi dan di hati terjalin hubungan simbolis denganTuhan. Oleh karena itu, manusia harus berlaku adil kepada alam, menjaga hubungan harmonis antara keduanya (Al-Attas, 2001). Bukankah kemiskinan, dapat menyulut perilaku tidak terpuji kepada alam seperti perambahan hutan, pencemaran sungai, bahkan pencurian, perampokan, migrasi sporadis, malah peperangan. Dengan kata lain, kesejahteraan, keharmonisan, kejujuran, keindahan, kebersihan, keimanan dan ketaqwaan adalah manifestasi dari hubungan harmonis manusia dengan alam dan Khaliknya.
Pada paruh pertama tahun ini, masyarakat dunia merasa tergoncang lagi, dengan adanya hadiah nobel perdamaian dunia yang diberikan kepada Al Gore mantan wakil presiden Amerika Serikat. Beliau dianggap, telah melakukan usaha dan aktivitas yang tidak kenal lelah untuk memperingatkan umat manusia terhadap malapetaka perobahan iklim. Kecerobohan dan kerakusan manusia mengeksploitasi alam dari mulai perambahan hutan sampai kepada memproduksi alat dan perangkat teknologi kimiawi yang ternyata telah merusak dan menghancurkan lapisan ozon. Akibatnya, perobahan iklim tidak hanya berdampak kepada naiknya permukaan air laut, tetapi juga berkaitan erat dengan kekeringan, banjir, gagal panen, ancaman kepada kesehatan manusia, binatang dan tumbuhan serta munculnya gelombang badai yang menghempaskan kota-kota dan pemukiman di tepi pantai. Sekarang orang menjadi cemas, tidak hanya karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga dengan masa depan bumi yang didiaminya. Bukankah ini kaitan yang gamblang antara ”damai di bumi” dengan ”damai di hati”.

Kewajiban Orang yang Taqwa
Orang beragama sering lupa, bahwa ketaqwaan kepada Allah swt tidak mungkin dilepaskan dari tugas manusia sebagai khalifah untuk ”mamayu huyning bawana,” membuat dunia ini lebih indah dan lestari. Seluruh umat beragama seharusnya berkoalisi untuk memberikan topangan teologis terhadap gerakan pelestarian lingkungan. Karena sebuah gerakan harus punya krido (creed) jeritan batin yang harus bersumber pada nilai-nilai ke Illahiah (supernatural) seperti menjauhi bencana dan keserakahan yang sangat dibenci Tuhan, menanamkan kejujuran, kesederhanaan, kebersihan dan keindahan, agar tercipta ”damai di bumi” dan ”damai di hati.” Tetapi, mengapa para tokoh agama, ulama dan pendeta begitu jarang menyinggung dan mengemukakan bahwa gerakan lingkungan memerlukan topangan teologis. Argumentasi ini agak langka kedengaran mencuat dari mereka. Bahkan sejatinya, gerakan lingkungan itu harus berawal dan berakhir dari keyakinan religius. Seharusnya para pakar agama meyakinkan para aktivis lingkungan, betapa kental hubungan gerakan lingkungan itu dengan masalah spiritual dan religiusitas.
Salah seorang pemikir muslim yang terkenal dalam masalah lingkungan adalah Prof. Dr. Syayid Hossein Nasr. Beliau adalah kelahiran Iran (Persia) yang menjadi guru besar filsafat Islam pada bebrapa universitas terkenal di Amerika Serikat. Dalam berbagai kesempatan selama berada di Indonesia (1994), beliau mengemukakan bahwa masalah krisis lingkungan dewasa ini tidak hanya masalah krisis intelektual dalam konteks ekonomi dan teknologi tetapi juga adalah masalah krisis teologis (religiusitas) umat manusia. Oleh karena itu, akar krisis lingkungan tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga metafisis dan religius (agamis). Jadi, suatu krisis spiritual yang paling dalam. Atau dengan kata lain, menurut Nasr, masalah krisis lingkungan adalah masalah yang berkaitan dengan ”ultimacy”, persoalan makna hidup yang paling dalam pada manusia, sehingga tidak ada sesuatu yang dapat menangani persoalan itu kecuali agama. Oleh karena itu, Professor Nasr menegaskan, perlu digali dan diperkenalkan kembali kearifan tradisional Islam, formulasi tatanan alam dan manusia dalam dimensi religius, dan kesadaran syari’ah serta aplikasinya dalam hubungan antara ”Manusia-Alam dan Tuhan” yang menjadikannya.

Pandangan Islam dan kapitalisme Barat
Seperti diketahui, ekonomi kapitalis lahir dalam masyarakat dunia dengan dasar etika Kristen Calvinisme (mazhab yang dipelopori oleh Jhon Calvin, yang menekankan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan). Akan tetapi, revolusi industri yang muncul dari ekonomi kapitalisme ini telah menggeser dasar etika Calvinis tersebut dan menjadikan ”egosentrisme” (keangkuhan manusia) sebagai dasar etika baru yang dominan. Egosentrisme manusia ini telah menggunakan IPTEK sebagai alat untuk menaklukkan alam dan mengurasnya untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Dunia kita dewasa ini berada di tepi kehancuran, karena sumber-sumber alam dijarah kelewat batas, terutama pada keempat sistem biologis yaitu: hutan, padang rumput, lahan dan perikanan laut. Justru, keempat sistem ini sangat vital (penting) dalam kehidupan manusia.
Menurut perhitungan PBB (UNEP) setiap detiknya diperkirakan 200 ton gas beracun (karbondioksida) dan 750 ton permukaan tanah yang subur (top soil) musnah. Sementara itu setiap hari, sekitar 47.000 hektar hutan dibabat, 16.000 hektar tanah digunduli dan di antara 100 hingga 300 spesies mati. Pada saat yang sama pula penduduk bumi untuk tiap tahunnya bertambah 100 juta orang. Jumlah manusia ini akan menambah beban bumi yang sudah renta.
Bagaimana dengan Indonesia? Pencemaran udara dan air di Jakarta dan Medan umpamanya, ternyata lebih parah dibandingkan dengan kota New York dan Paris. Kebakaran dan kehancuran hutan di Kalimantan, papua, dan Aceh memerlukan waktu 70 tahun untuk merehabilitasinya. Semua sungai di Jawa dan Sumatera dinyatakan tercemar berat (dengan bahan beracun B-3) dan tidak mampu lagi membersihkan dirinya. Sementara itu, hutan bakau di sepanjang Timur pantai Sumatera< Kalimantan dan Jawa Utara, dewasa ini terus mengalami kepunahan, karena dirambah menjadi tambak udang, permukiman elit dan industri. Pembuangan limbah pabrik ke sungai dan pendangkalan perairan pantai telah menyebabkan para nelayan kecil makin hari makin kehilangan rezeki. Ironisnya, pukat harimau (trowler) tetap beroperasi, meyapu dan menjaring ikan kecil dan besar di sepanjang pantai. Kenyataan ini membuat masyarakat Islam harusnya tersentak. Selama ini alam kesadaran cendikiawan, ulama dan para birokrat, seakan tidak memiliki kesempatan untuk merujuk nilai-nilai dan ajaran Islam tentang hubungan alam dan manusia, terutama karena kesibukan mereka dalam alih teknologi Barat dan rayuan kedudukan politik bisnis-kapitalis. Barat sudah seharusnya dikoreksi dengan nilai-nilai ekologi yang islami. Ajaran Islam sebagai ”al din al hanif”, terutama tentang manusia dan alam dapat dijadikan landasan yang kuat untuk mengatasi krisis lingkungan, tidak hanya untuk umat Islam, tetapi juga untuk masyarakat Barat dan masyarakat non Barat lainnya.

Akar Krisis Lingkungan
Seperti diperingatkan oleh Prof. Nasr (1996), bahwa krisis lingkungan berakar pada kontradiksi antara serangan gencar kebudaayn Barat yang egosentris di satu pihak dan lunturnya kebudayaan Islam di pihak lain. Budaya Barat telah menempatkan manusia secara hirarkikal di atas alam. Alam diangapnya sebagai ”musuh yang harus ditaklukkan”. Sebaliknya, Islam memandang alam sebagai bahagian integral yang tak terpisahkan dari manusia. Alam dengan segala fenomenanya adalah tanda-tanda atau simbol yang melukiskan ayat-ayat kebesaran Tuhan yang tak tertulis dan unik yang disebut juga sebagai ayat-ayat Kauniyah. Ayat-ayat Kauniyah ini melengkapi ayat-ayat lain yang tertulis di dalam Al-Quran. Bagi kaum muslim yang bijak menurut Prof nasr, alam merupakan Al-Quran kosmis atau antologis (Al-Quran Al-Datwani). Manusia yang bijak akan membaca dan melihat fenomena alam dengan segala peristiwanya sebagai ’tanda-tanda’ atau ayat Allah yang disebut juga oleh agama-agama Samawi lainnya sebagai ”vestigia dei”. Namun, ”vestigia dei” (ayat-ayat Allah) itu sekarang dalam dunia Barat telah dikesampingkan, penaka salib yang tegak dan menjadi saksi bisu dari kehancuran lingkungan akibat nilai-nilai egosentrisme teknologi modern.
Krisis lingkungan yang telah mendorong kegelisahan, kecemasan dan keprihatinan dewasa ini berasal dari sebab yang sangat mendasar, yaitu krisis eksistensi manusia yang bersumber dari paradigma ilmu, teknologi dan seni semakin jauh dari nilai-nilai etik, moral dan agama. Gerakan lingkungan seyogianya harus ditopang kembali oleh krido teologis, agar ”benang merah” Illahi yang menghubungkan ”damai di bumi dan damai di hati” dapat senantiasa dipertautkan. Justru itu gerakan lingkungan harus ditopang dan diletakkan dalam konteks untuk meraih taqwa, sebuah posisi luhur dalam pandangan Allah swt. Insya Allah!

Oleh : Prof. Usman Pelly, M.Pd. Ph.D

Pekan Diskusi Ramadhan

Isi ramadhan dengan aktivitas positif yuk! Mulai tanggal 08 s.d. 15 September 2008 pukul 16.30 wib ada Pekan Diskusi Ramadhan yang dilaksanakan di Mushola HMI Cabang Medan. Kegiatannya berupa diskusi dan buka puasa bersama.

Berikut adalah pembicara yang akan hadir dalam pekan diskusi ramadhan:
1. Prof. Usman Pelly, M.Pd, Ph.D
2. Raden Muhammad Syafi'i, SH, M.Hum
3. Drs. Awaluddin Tayyeb, MT
4. Drs. Anshar M Noor, MT
5. Drs. Zahrin Piliang, M.Pd
6. Drs. Murlan Tamba, MT
6. Ir. Nelly Armayanti, MP

wanted !

















Harap segera konfirmasi ke pengurus Kohati HMI Cabang Medan untuk melakukan follow up LKK :
1. Membuat essay tentang woment and development
2. Menjadi pembicara dalam diskusi keperempuanan Kohati HMI Cabang Medan sebanyak 1 kali
3. Mengikuti diskusi rutin HMI Cabang Medan minimal sebanyak 3 kali

Peserta yang tidak mengikuti follow up, tidak akan mendapatkan sertifikat kelulusan training beserta beberapa gift lainnya.