Perkataan ”damai di bumi”, sekarang telah mendapat perluasan horizon kognasi yang semangkin spektakuler. Setidaknya, setelah hadiah nobel perdamaian diberikan pada Prof. DR. Muhammad Yunus, pahlawan Banglades yang telah berhasil melawan kemiskinan dengan Bank Garmeen di negaranya. Hampir 70% dari nasabah bank yang berjumlah jutaan itu dalam waktu yang relatif singkat dapat keluar dari garis kemiskinan. Semula, orang masih mendapat kesulitan menghubungkan pengertian perdamaian dengan pengentasan kemiskinan. Akhirnya masyarakat luas memakluminya juga bahwa ”damai di bumi” atau ”damai di hati” tidak akan pernah terjadi apabila manusia masih tetap dibalut kemiskinan dan kepapaan. Bukankah damai merupakan salah satu dari nilai alam tabi’i (nature), sedang alam jagat raya itu adalah manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Antara damai di bumi dan di hati terjalin hubungan simbolis denganTuhan. Oleh karena itu, manusia harus berlaku adil kepada alam, menjaga hubungan harmonis antara keduanya (Al-Attas, 2001). Bukankah kemiskinan, dapat menyulut perilaku tidak terpuji kepada alam seperti perambahan hutan, pencemaran sungai, bahkan pencurian, perampokan, migrasi sporadis, malah peperangan. Dengan kata lain, kesejahteraan, keharmonisan, kejujuran, keindahan, kebersihan, keimanan dan ketaqwaan adalah manifestasi dari hubungan harmonis manusia dengan alam dan Khaliknya.
Pada paruh pertama tahun ini, masyarakat dunia merasa tergoncang lagi, dengan adanya hadiah nobel perdamaian dunia yang diberikan kepada Al Gore mantan wakil presiden Amerika Serikat. Beliau dianggap, telah melakukan usaha dan aktivitas yang tidak kenal lelah untuk memperingatkan umat manusia terhadap malapetaka perobahan iklim. Kecerobohan dan kerakusan manusia mengeksploitasi alam dari mulai perambahan hutan sampai kepada memproduksi alat dan perangkat teknologi kimiawi yang ternyata telah merusak dan menghancurkan lapisan ozon. Akibatnya, perobahan iklim tidak hanya berdampak kepada naiknya permukaan air laut, tetapi juga berkaitan erat dengan kekeringan, banjir, gagal panen, ancaman kepada kesehatan manusia, binatang dan tumbuhan serta munculnya gelombang badai yang menghempaskan kota-kota dan pemukiman di tepi pantai. Sekarang orang menjadi cemas, tidak hanya karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga dengan masa depan bumi yang didiaminya. Bukankah ini kaitan yang gamblang antara ”damai di bumi” dengan ”damai di hati”.
Kewajiban Orang yang Taqwa
Orang beragama sering lupa, bahwa ketaqwaan kepada Allah swt tidak mungkin dilepaskan dari tugas manusia sebagai khalifah untuk ”mamayu huyning bawana,” membuat dunia ini lebih indah dan lestari. Seluruh umat beragama seharusnya berkoalisi untuk memberikan topangan teologis terhadap gerakan pelestarian lingkungan. Karena sebuah gerakan harus punya krido (creed) jeritan batin yang harus bersumber pada nilai-nilai ke Illahiah (supernatural) seperti menjauhi bencana dan keserakahan yang sangat dibenci Tuhan, menanamkan kejujuran, kesederhanaan, kebersihan dan keindahan, agar tercipta ”damai di bumi” dan ”damai di hati.” Tetapi, mengapa para tokoh agama, ulama dan pendeta begitu jarang menyinggung dan mengemukakan bahwa gerakan lingkungan memerlukan topangan teologis. Argumentasi ini agak langka kedengaran mencuat dari mereka. Bahkan sejatinya, gerakan lingkungan itu harus berawal dan berakhir dari keyakinan religius. Seharusnya para pakar agama meyakinkan para aktivis lingkungan, betapa kental hubungan gerakan lingkungan itu dengan masalah spiritual dan religiusitas.
Salah seorang pemikir muslim yang terkenal dalam masalah lingkungan adalah Prof. Dr. Syayid Hossein Nasr. Beliau adalah kelahiran Iran (Persia) yang menjadi guru besar filsafat Islam pada bebrapa universitas terkenal di Amerika Serikat. Dalam berbagai kesempatan selama berada di Indonesia (1994), beliau mengemukakan bahwa masalah krisis lingkungan dewasa ini tidak hanya masalah krisis intelektual dalam konteks ekonomi dan teknologi tetapi juga adalah masalah krisis teologis (religiusitas) umat manusia. Oleh karena itu, akar krisis lingkungan tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga metafisis dan religius (agamis). Jadi, suatu krisis spiritual yang paling dalam. Atau dengan kata lain, menurut Nasr, masalah krisis lingkungan adalah masalah yang berkaitan dengan ”ultimacy”, persoalan makna hidup yang paling dalam pada manusia, sehingga tidak ada sesuatu yang dapat menangani persoalan itu kecuali agama. Oleh karena itu, Professor Nasr menegaskan, perlu digali dan diperkenalkan kembali kearifan tradisional Islam, formulasi tatanan alam dan manusia dalam dimensi religius, dan kesadaran syari’ah serta aplikasinya dalam hubungan antara ”Manusia-Alam dan Tuhan” yang menjadikannya.
Pandangan Islam dan kapitalisme Barat
Seperti diketahui, ekonomi kapitalis lahir dalam masyarakat dunia dengan dasar etika Kristen Calvinisme (mazhab yang dipelopori oleh Jhon Calvin, yang menekankan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan). Akan tetapi, revolusi industri yang muncul dari ekonomi kapitalisme ini telah menggeser dasar etika Calvinis tersebut dan menjadikan ”egosentrisme” (keangkuhan manusia) sebagai dasar etika baru yang dominan. Egosentrisme manusia ini telah menggunakan IPTEK sebagai alat untuk menaklukkan alam dan mengurasnya untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Dunia kita dewasa ini berada di tepi kehancuran, karena sumber-sumber alam dijarah kelewat batas, terutama pada keempat sistem biologis yaitu: hutan, padang rumput, lahan dan perikanan laut. Justru, keempat sistem ini sangat vital (penting) dalam kehidupan manusia.
Menurut perhitungan PBB (UNEP) setiap detiknya diperkirakan 200 ton gas beracun (karbondioksida) dan 750 ton permukaan tanah yang subur (top soil) musnah. Sementara itu setiap hari, sekitar 47.000 hektar hutan dibabat, 16.000 hektar tanah digunduli dan di antara 100 hingga 300 spesies mati. Pada saat yang sama pula penduduk bumi untuk tiap tahunnya bertambah 100 juta orang. Jumlah manusia ini akan menambah beban bumi yang sudah renta.
Bagaimana dengan Indonesia? Pencemaran udara dan air di Jakarta dan Medan umpamanya, ternyata lebih parah dibandingkan dengan kota New York dan Paris. Kebakaran dan kehancuran hutan di Kalimantan, papua, dan Aceh memerlukan waktu 70 tahun untuk merehabilitasinya. Semua sungai di Jawa dan Sumatera dinyatakan tercemar berat (dengan bahan beracun B-3) dan tidak mampu lagi membersihkan dirinya. Sementara itu, hutan bakau di sepanjang Timur pantai Sumatera< Kalimantan dan Jawa Utara, dewasa ini terus mengalami kepunahan, karena dirambah menjadi tambak udang, permukiman elit dan industri. Pembuangan limbah pabrik ke sungai dan pendangkalan perairan pantai telah menyebabkan para nelayan kecil makin hari makin kehilangan rezeki. Ironisnya, pukat harimau (trowler) tetap beroperasi, meyapu dan menjaring ikan kecil dan besar di sepanjang pantai. Kenyataan ini membuat masyarakat Islam harusnya tersentak. Selama ini alam kesadaran cendikiawan, ulama dan para birokrat, seakan tidak memiliki kesempatan untuk merujuk nilai-nilai dan ajaran Islam tentang hubungan alam dan manusia, terutama karena kesibukan mereka dalam alih teknologi Barat dan rayuan kedudukan politik bisnis-kapitalis. Barat sudah seharusnya dikoreksi dengan nilai-nilai ekologi yang islami. Ajaran Islam sebagai ”al din al hanif”, terutama tentang manusia dan alam dapat dijadikan landasan yang kuat untuk mengatasi krisis lingkungan, tidak hanya untuk umat Islam, tetapi juga untuk masyarakat Barat dan masyarakat non Barat lainnya.
Akar Krisis Lingkungan
Seperti diperingatkan oleh Prof. Nasr (1996), bahwa krisis lingkungan berakar pada kontradiksi antara serangan gencar kebudaayn Barat yang egosentris di satu pihak dan lunturnya kebudayaan Islam di pihak lain. Budaya Barat telah menempatkan manusia secara hirarkikal di atas alam. Alam diangapnya sebagai ”musuh yang harus ditaklukkan”. Sebaliknya, Islam memandang alam sebagai bahagian integral yang tak terpisahkan dari manusia. Alam dengan segala fenomenanya adalah tanda-tanda atau simbol yang melukiskan ayat-ayat kebesaran Tuhan yang tak tertulis dan unik yang disebut juga sebagai ayat-ayat Kauniyah. Ayat-ayat Kauniyah ini melengkapi ayat-ayat lain yang tertulis di dalam Al-Quran. Bagi kaum muslim yang bijak menurut Prof nasr, alam merupakan Al-Quran kosmis atau antologis (Al-Quran Al-Datwani). Manusia yang bijak akan membaca dan melihat fenomena alam dengan segala peristiwanya sebagai ’tanda-tanda’ atau ayat Allah yang disebut juga oleh agama-agama Samawi lainnya sebagai ”vestigia dei”. Namun, ”vestigia dei” (ayat-ayat Allah) itu sekarang dalam dunia Barat telah dikesampingkan, penaka salib yang tegak dan menjadi saksi bisu dari kehancuran lingkungan akibat nilai-nilai egosentrisme teknologi modern.
Krisis lingkungan yang telah mendorong kegelisahan, kecemasan dan keprihatinan dewasa ini berasal dari sebab yang sangat mendasar, yaitu krisis eksistensi manusia yang bersumber dari paradigma ilmu, teknologi dan seni semakin jauh dari nilai-nilai etik, moral dan agama. Gerakan lingkungan seyogianya harus ditopang kembali oleh krido teologis, agar ”benang merah” Illahi yang menghubungkan ”damai di bumi dan damai di hati” dapat senantiasa dipertautkan. Justru itu gerakan lingkungan harus ditopang dan diletakkan dalam konteks untuk meraih taqwa, sebuah posisi luhur dalam pandangan Allah swt. Insya Allah!
Oleh : Prof. Usman Pelly, M.Pd. Ph.D
Gerakan Lingkungan Memerlukan Topangan Teologis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar