Pendahuluan
Manusia memiliki seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaannya sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh negara, pemerintah, hukum dan setiap orang demi kehormatan, perlindungan harkat dan martabat manusia. Berangkat dari hukum kodrat oleh John Locke bahwa ada tiga hak dasar yang bersifat umum bagi setiap dan semua manusia yaitu hak atas kehidupan, hak milik pribadi dan hak atas kebebasan.[1] Dengan kata lain, sebagal makhluk hidup yang berkesadaran dan berkehendak, dari kodratnya manusia memiliki hak untuk hidup, hak atas sarana untuk mewujudkan kehendaknya.
Dalam refleksi filosofis tentang pendasaran hak asasi manusia, martabat manusia dijadikan sebagai fundamen yang kukuh, di samping tentu kodrat manusia. Martabat berkaitan dengan nilai. Sejak hidupnya filsuf Jerman, Immanuel Kant, kita langsung mengerti martabat secara normatif. Martabat harus dihormati. Secara konkrit hal itu berarti bahwa manusia harus diperlakukan sebagai suatu tujuan sendiri dan bukan sebagai sarana belaka. Ketika manusia diperlakukan sebagai sarana maka tidak ubahnyalah manusia itu seperti komoditas barang yang diperdagangkan.
Wacana tersebut harusnya sudah menjadi suatu kesepakatan publik. Dimana tidak akan ada lagi pengangkangan martabat manusia. Tercipta kehidupan yang harmonis yang jauh dari segala macam pelecehan. Namun terlepas dari itu semua, semakin bertambahnya usia peradaban manusia ternyata semakin memberi dampak yang negatif terhadap sinergisitas kehidupan. Manusia yang seharusnya sudah mapan dan menjadi subyek produksi budaya malah terhegemoni oleh situasi perekonomian. Manusia memandang perkembangan sejarah peradaban seperti apa yang dikatakan oleh Hegel, yaitu sebagai skema metafisis proses rasionalitas manusia.[2]
Fenomena semacam ini banyak menghampiri kehidupan masyarakat kita yang berada pada taraf kesejahteraan rendah. Eksploitasi terjadi pada segala aspek; fisik dan non fisik. Tenaga kerja yang dipekerjakan tanpa upah pun semakin banyak. Dan lebih parahnya lagi bukan hanya tenaga mereka yang dikuras, tapi juga tubuh mereka yang 'digilas'. Yang banyak menjadi korban biasanya adalah pihak minoritas, yang tidak mempunyai kekuatan untuk melawan, perempuan.
Kasus menghebohkan yang sekarang ini banyak menimpa perempuan adalah perdagangan orang. Segala bentuk kompleksitas kekerasan ada di dalamnya. Hal ini banyak dialami oleh TKW, baik yang bekerja di luar maupun di dalam negeri. Kasus mulai dari gaji tidak dibayar sampai dengan perlakuan yang tidak wajar (kekerasan fisik). Kasus penjerumusan ke dalam lembah industri pelacuran dengan iming-iming akan dipekerjakan atau disekolahkan ke luar negeri.
Fakta di lapangan menunjukkan, kuantitas perempuan pekerja lebih besar jika dibandingkan laki-laki. Namun kalau ditelusuri lagi, lahan yang digarap perempuan biasanya bukanlah lahan-lahan basah. Posisinya paling rendah, dengan jam kerja panjang tapi upah kerja minimum. Karena kondisi ini pulalah, perdagangan orang tidak terelakkan oleh perempuan. Perempuan (yang termasuk dalam tingkat kesejahteraan rendah) masih berfikir dengan jalan sebagai subyek dagang, mereka akan meningkatkan taraf kesejahteraan hidup secara instan.
Indonesia memiliki sekitar 200 ribu pekerja seks. Satu juta pekerja rumah tangga dan satu juta tenaga kerja wanita.[3] Angka presentase yang sangat berarti telah dimunculkan melalui berbagai survei bahwa banyak dari mereka sesungguhnya merupakan korban perdagangan orang. Sumatera Utara yang merupakan daerah transit transportasi udara dan laut ikut andil dalam memperluas jaringan sindikat perdagangan perempuan.
Definisi Dan Besaran Masalah
Pelapor khusus PBB mengenai kekerasan terhadap perempuan (UN Special Rapporteur on Violence Against Women) mendefinisikan masalah perdagangan perempuan sebagai: All acts involved in the recruitments and/or services by means of violence, abuse of authority or dominant position, debt bondage, deception or other forms of coercion (Segala tindakan yang melibatkan perekrutan dan atau penyaluran perempuan dan anak-anak perempuan di dalam negeri maupun di luar negeri untuk bekerja atau memberikan layanan, yang dilakukan lewat pendekatan kekerasan, penyalahgunaan wewenang, perbudakan-pemerangkapan utang, penipuan, atau lewat bentuk-bentuk kekerasan atau pemaksaan lainnya).[4]
Definisi yang dijabarkan oleh PBB tersebut menjelaskan bahwa perdagangan perempuan dilakukan dengan pendekatan kekerasan. Korban direkrut dari daerah asal dikirim kepada calo/broker dan germo yang biasanya memegang kendali di daerah transit dan untuk selanjutnya diserahterimakan kepada pihak penerima di daerah tujuan.
Coalition Againts Women in Trafficking (CAWT) dalam laporannya menyebutkan, tujuan utama perdagangan perempuan adalah untuk kepentingan industri prostitusi.[5] Meskipun dalam perekrutannya seringkali disamarkan lewat iming-iming pekerjaan, pariwisata, bahkan kawin kontrak. Organisasi ini melaporkan adanya ratusan perempuan di Saudi Arabia, Taiwan, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Australia, Korea Selatan dan Jepang.
Selain keluar negeri, sebagian besar perdagangan perempuan sebenarnya juga terjadi di dalam negeri. Jumlah perempuan yang diperdagangkan dan diperangkap masuk dalam industri prostitusi sangat besar. Namun data resmi pemerintah hanya berjumlah ratusan saja. Berdasarkan laporan kasus perdagangan orang di Indonesia, jumlah korban dua tahun ini mengalami fluktuasi. Yang pada tahun 2005 jumlah kasus sebanyak 71 dan yang dilimpahkan ke kejaksaan hanya sebanyak 11,27 persennya saja (8 kasus) pada tahun 2006 mengalami peningkatan, ada sebanyak 126 kasus perdagangan orang sedangkan yang dilimpahkan ke kejaksaan sebanyak 64 kasus (50,79 persen).[6]
Luas dan kuatnya jaringan sindikat perdagangan perempuan dan prostitusi bisa dilihat dari besarnya uang yang dihasilkan dari bisnis tersebut. Menurut PBB perdagangan orang adalah sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9,5 juta USD dalam pajak tahunan. Selain itu perdagangan orang juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang sangat menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian (money loundring), perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen dan penyelundupan manusia.[7]
Banyak faktor yang mendukung meluasnya prktek perdagangan perempuan dan prostitusi, di antaranya, (1) ketiadaan pilihan akibat kemiskinan dan pengangguran yang membelit dan tersebar luas, (2) lemahnya posisi perempuan akibat kultur dan struktur patriarki dalam masyarakat Indonesia, (3) lemahnya komitmen dan kebijakan negara untuk mencegah dan menanggulangi masalah perdagangan perempuan dan prostitusi dan juga (4) banyaknya praktik kolusi antara jaringan pelaku perdagangan perempuan, pemilik industri prostitusi dengan aparat negara, termasuk aparat keamanan.
Komitmen Negara Dan Masyarakat Dalam Peretasan Tindak Perdagangan Perempuan
Sudah merupakan satu kemajuan dari pemerintah yang telah mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (UUPTPPO).[8] Dari yang sebelumnya sudah dilakukan peratifikasian beberapa komitmen internasional, antara lain Convention on The Ellimination of All Forms of Discriminations Againts Women (CEDAW) diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984 untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan, terutama pada bidang-bidang pendidikan, ekonomi dan ketenagakerjaan, kesehatan, hukum dan International Conference on Population and Development (ICDP) tahun 1994 yang isinya Negara peserta menyepakati programme of action untuk menegaskan kembali dan mengupayakan peran perempuan dalam pembangunan dan menjamin strategi baru yang berfokus pada kesetaraan, keadilan, dan pemberdayaan perempuan.
Hanya tinggal lagi standar tentang pengaturan pelaksanaan UU tersebut yang belum dirancang. Diharapkan peraturan pemerintah segera dikeluarkan sebagai aturan pelaksanaan untuk mempermudah jalannya pemberantasan perdagangan orang.
Selain komitmen pemerintah, penting adanya pembentukan gugus tugas di dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, peneliti/akademisi.
Pada masyarakat sipil perlu diadakan pendidikan hukum, pembangunan capacity building dan memasukkan materi khusus tentang pemberantasan perdagangan orang (terutama perempuan dan anak-anak, penghapusan kekrasan dalam rumah tangga) dalam mata kuliah perguruan tinggi.
Para akademisi perlu juga memberikan masukan dalam proses legal drafting dan membangun networking dengan stakeholder lainnya, melakukan advokasi penegakan hukum (ligitasi atau non ligitasi termasuk pendampingan) berkaitan dengan pemberantasan perdagangan orang.
Walaupun di Sumatera Utara sudah ada peraturan daerah tentang PTPPO, perlu diadakan peninjauan kembali untuk dilakukan penyesuaian dengan kasus-kasus yang berkembang, misalnya selain tenaga kerja (termasuk PSK), juga perdagangan bayi dan organ tubuh yang mulai marak terjadi.
Dan satu hal yang harus kita fikirkan bersama adalah penyediaan lapangan kerja bagi korban-korban perdagangan perempuan, terlebih lagi untuk mantan-mantan PSK yang sudah hidup normal kembali. Yang pasti, lapangan pekerjaan tersebut harus menjanjikan, menopang kesejahteraan hidup mereka sehingga tidak akan dikhawatirkan mereka kembali ke dunia perdagangan orang lagi.
[1] Kristanto, J. B., Arsuka, Nirwan Ahmad, Bentara: Esei-Esei 2002, Kompas, Jakarta, Agustus 2002, hlm. 67.
[2] Ibid, hlm. 127.
[3] Rosenberg, 2003, hlm. 30
[4] Sudirman, H. N., Lingkaran Setan Perdagangan Perempuan, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0110/22/nasional/ling36.htm
[5] Trafficking in Women and Prostitution in Asia-Pacific,1998.
[6] Data Perdagangan Manusia di Indonesia dalam www.lfip.org/report/traffickingdatainIndonesiatable.pdf
[7] Agusmidah, Tenaga Kerja Indonesia, Perdagangan Manusia dan Upaya Penangulangannya, 30 Agustus 2007.
[8] Deputi Bidang Perlindungan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Permasalahan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, 30 Agustus 2007.
Manusia memiliki seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaannya sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi oleh negara, pemerintah, hukum dan setiap orang demi kehormatan, perlindungan harkat dan martabat manusia. Berangkat dari hukum kodrat oleh John Locke bahwa ada tiga hak dasar yang bersifat umum bagi setiap dan semua manusia yaitu hak atas kehidupan, hak milik pribadi dan hak atas kebebasan.[1] Dengan kata lain, sebagal makhluk hidup yang berkesadaran dan berkehendak, dari kodratnya manusia memiliki hak untuk hidup, hak atas sarana untuk mewujudkan kehendaknya.
Dalam refleksi filosofis tentang pendasaran hak asasi manusia, martabat manusia dijadikan sebagai fundamen yang kukuh, di samping tentu kodrat manusia. Martabat berkaitan dengan nilai. Sejak hidupnya filsuf Jerman, Immanuel Kant, kita langsung mengerti martabat secara normatif. Martabat harus dihormati. Secara konkrit hal itu berarti bahwa manusia harus diperlakukan sebagai suatu tujuan sendiri dan bukan sebagai sarana belaka. Ketika manusia diperlakukan sebagai sarana maka tidak ubahnyalah manusia itu seperti komoditas barang yang diperdagangkan.
Wacana tersebut harusnya sudah menjadi suatu kesepakatan publik. Dimana tidak akan ada lagi pengangkangan martabat manusia. Tercipta kehidupan yang harmonis yang jauh dari segala macam pelecehan. Namun terlepas dari itu semua, semakin bertambahnya usia peradaban manusia ternyata semakin memberi dampak yang negatif terhadap sinergisitas kehidupan. Manusia yang seharusnya sudah mapan dan menjadi subyek produksi budaya malah terhegemoni oleh situasi perekonomian. Manusia memandang perkembangan sejarah peradaban seperti apa yang dikatakan oleh Hegel, yaitu sebagai skema metafisis proses rasionalitas manusia.[2]
Fenomena semacam ini banyak menghampiri kehidupan masyarakat kita yang berada pada taraf kesejahteraan rendah. Eksploitasi terjadi pada segala aspek; fisik dan non fisik. Tenaga kerja yang dipekerjakan tanpa upah pun semakin banyak. Dan lebih parahnya lagi bukan hanya tenaga mereka yang dikuras, tapi juga tubuh mereka yang 'digilas'. Yang banyak menjadi korban biasanya adalah pihak minoritas, yang tidak mempunyai kekuatan untuk melawan, perempuan.
Kasus menghebohkan yang sekarang ini banyak menimpa perempuan adalah perdagangan orang. Segala bentuk kompleksitas kekerasan ada di dalamnya. Hal ini banyak dialami oleh TKW, baik yang bekerja di luar maupun di dalam negeri. Kasus mulai dari gaji tidak dibayar sampai dengan perlakuan yang tidak wajar (kekerasan fisik). Kasus penjerumusan ke dalam lembah industri pelacuran dengan iming-iming akan dipekerjakan atau disekolahkan ke luar negeri.
Fakta di lapangan menunjukkan, kuantitas perempuan pekerja lebih besar jika dibandingkan laki-laki. Namun kalau ditelusuri lagi, lahan yang digarap perempuan biasanya bukanlah lahan-lahan basah. Posisinya paling rendah, dengan jam kerja panjang tapi upah kerja minimum. Karena kondisi ini pulalah, perdagangan orang tidak terelakkan oleh perempuan. Perempuan (yang termasuk dalam tingkat kesejahteraan rendah) masih berfikir dengan jalan sebagai subyek dagang, mereka akan meningkatkan taraf kesejahteraan hidup secara instan.
Indonesia memiliki sekitar 200 ribu pekerja seks. Satu juta pekerja rumah tangga dan satu juta tenaga kerja wanita.[3] Angka presentase yang sangat berarti telah dimunculkan melalui berbagai survei bahwa banyak dari mereka sesungguhnya merupakan korban perdagangan orang. Sumatera Utara yang merupakan daerah transit transportasi udara dan laut ikut andil dalam memperluas jaringan sindikat perdagangan perempuan.
Definisi Dan Besaran Masalah
Pelapor khusus PBB mengenai kekerasan terhadap perempuan (UN Special Rapporteur on Violence Against Women) mendefinisikan masalah perdagangan perempuan sebagai: All acts involved in the recruitments and/or services by means of violence, abuse of authority or dominant position, debt bondage, deception or other forms of coercion (Segala tindakan yang melibatkan perekrutan dan atau penyaluran perempuan dan anak-anak perempuan di dalam negeri maupun di luar negeri untuk bekerja atau memberikan layanan, yang dilakukan lewat pendekatan kekerasan, penyalahgunaan wewenang, perbudakan-pemerangkapan utang, penipuan, atau lewat bentuk-bentuk kekerasan atau pemaksaan lainnya).[4]
Definisi yang dijabarkan oleh PBB tersebut menjelaskan bahwa perdagangan perempuan dilakukan dengan pendekatan kekerasan. Korban direkrut dari daerah asal dikirim kepada calo/broker dan germo yang biasanya memegang kendali di daerah transit dan untuk selanjutnya diserahterimakan kepada pihak penerima di daerah tujuan.
Coalition Againts Women in Trafficking (CAWT) dalam laporannya menyebutkan, tujuan utama perdagangan perempuan adalah untuk kepentingan industri prostitusi.[5] Meskipun dalam perekrutannya seringkali disamarkan lewat iming-iming pekerjaan, pariwisata, bahkan kawin kontrak. Organisasi ini melaporkan adanya ratusan perempuan di Saudi Arabia, Taiwan, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Australia, Korea Selatan dan Jepang.
Selain keluar negeri, sebagian besar perdagangan perempuan sebenarnya juga terjadi di dalam negeri. Jumlah perempuan yang diperdagangkan dan diperangkap masuk dalam industri prostitusi sangat besar. Namun data resmi pemerintah hanya berjumlah ratusan saja. Berdasarkan laporan kasus perdagangan orang di Indonesia, jumlah korban dua tahun ini mengalami fluktuasi. Yang pada tahun 2005 jumlah kasus sebanyak 71 dan yang dilimpahkan ke kejaksaan hanya sebanyak 11,27 persennya saja (8 kasus) pada tahun 2006 mengalami peningkatan, ada sebanyak 126 kasus perdagangan orang sedangkan yang dilimpahkan ke kejaksaan sebanyak 64 kasus (50,79 persen).[6]
Luas dan kuatnya jaringan sindikat perdagangan perempuan dan prostitusi bisa dilihat dari besarnya uang yang dihasilkan dari bisnis tersebut. Menurut PBB perdagangan orang adalah sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9,5 juta USD dalam pajak tahunan. Selain itu perdagangan orang juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang sangat menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian (money loundring), perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen dan penyelundupan manusia.[7]
Banyak faktor yang mendukung meluasnya prktek perdagangan perempuan dan prostitusi, di antaranya, (1) ketiadaan pilihan akibat kemiskinan dan pengangguran yang membelit dan tersebar luas, (2) lemahnya posisi perempuan akibat kultur dan struktur patriarki dalam masyarakat Indonesia, (3) lemahnya komitmen dan kebijakan negara untuk mencegah dan menanggulangi masalah perdagangan perempuan dan prostitusi dan juga (4) banyaknya praktik kolusi antara jaringan pelaku perdagangan perempuan, pemilik industri prostitusi dengan aparat negara, termasuk aparat keamanan.
Komitmen Negara Dan Masyarakat Dalam Peretasan Tindak Perdagangan Perempuan
Sudah merupakan satu kemajuan dari pemerintah yang telah mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (UUPTPPO).[8] Dari yang sebelumnya sudah dilakukan peratifikasian beberapa komitmen internasional, antara lain Convention on The Ellimination of All Forms of Discriminations Againts Women (CEDAW) diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984 untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan, terutama pada bidang-bidang pendidikan, ekonomi dan ketenagakerjaan, kesehatan, hukum dan International Conference on Population and Development (ICDP) tahun 1994 yang isinya Negara peserta menyepakati programme of action untuk menegaskan kembali dan mengupayakan peran perempuan dalam pembangunan dan menjamin strategi baru yang berfokus pada kesetaraan, keadilan, dan pemberdayaan perempuan.
Hanya tinggal lagi standar tentang pengaturan pelaksanaan UU tersebut yang belum dirancang. Diharapkan peraturan pemerintah segera dikeluarkan sebagai aturan pelaksanaan untuk mempermudah jalannya pemberantasan perdagangan orang.
Selain komitmen pemerintah, penting adanya pembentukan gugus tugas di dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, peneliti/akademisi.
Pada masyarakat sipil perlu diadakan pendidikan hukum, pembangunan capacity building dan memasukkan materi khusus tentang pemberantasan perdagangan orang (terutama perempuan dan anak-anak, penghapusan kekrasan dalam rumah tangga) dalam mata kuliah perguruan tinggi.
Para akademisi perlu juga memberikan masukan dalam proses legal drafting dan membangun networking dengan stakeholder lainnya, melakukan advokasi penegakan hukum (ligitasi atau non ligitasi termasuk pendampingan) berkaitan dengan pemberantasan perdagangan orang.
Walaupun di Sumatera Utara sudah ada peraturan daerah tentang PTPPO, perlu diadakan peninjauan kembali untuk dilakukan penyesuaian dengan kasus-kasus yang berkembang, misalnya selain tenaga kerja (termasuk PSK), juga perdagangan bayi dan organ tubuh yang mulai marak terjadi.
Dan satu hal yang harus kita fikirkan bersama adalah penyediaan lapangan kerja bagi korban-korban perdagangan perempuan, terlebih lagi untuk mantan-mantan PSK yang sudah hidup normal kembali. Yang pasti, lapangan pekerjaan tersebut harus menjanjikan, menopang kesejahteraan hidup mereka sehingga tidak akan dikhawatirkan mereka kembali ke dunia perdagangan orang lagi.
[1] Kristanto, J. B., Arsuka, Nirwan Ahmad, Bentara: Esei-Esei 2002, Kompas, Jakarta, Agustus 2002, hlm. 67.
[2] Ibid, hlm. 127.
[3] Rosenberg, 2003, hlm. 30
[4] Sudirman, H. N., Lingkaran Setan Perdagangan Perempuan, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0110/22/nasional/ling36.htm
[5] Trafficking in Women and Prostitution in Asia-Pacific,1998.
[6] Data Perdagangan Manusia di Indonesia dalam www.lfip.org/report/traffickingdatainIndonesiatable.pdf
[7] Agusmidah, Tenaga Kerja Indonesia, Perdagangan Manusia dan Upaya Penangulangannya, 30 Agustus 2007.
[8] Deputi Bidang Perlindungan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Permasalahan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, 30 Agustus 2007.
0 komentar:
Posting Komentar