Bedah Buku "Perempuan Berkalung Sorban"



Latar Belakang Penulisan Novel
Penulisan Novel “Perempuan Berkalung Sorban” dilatarbelakangi oleh ide Yayasan kesejahteraan Fatayat, LSM milik Nahdlatul Ulama Yogyakarta untuk membuat novel tentang pemberdayaan perempuan.
Tujuan penulisan novel tersebut adalah untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi perempuan yang diratifikasi oleh PBB.
Sumber fakta yang dikumpulkan untuk menggambarkan setting tempat dan yang fisik-fisik dilakukan di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah, yang salah satu di antara perkampungan tersebut terdapat pesantren salaf, di pegunungan dan ditemukan banyak orang-orang yang menunggang kuda.

Misi yang Diusung Penulis
Dilatarbelakangi oleh kondisi perempuan-perempuan yang ada di Indonesia dan budaya patriarkis yang masih melekat pada tradisi dan aktivitas di tengah-tengah masyarakat.
Ketertarikan penulis pada permasalahan feminisme melatarbelakangi seluruh karya tulisnya, mulai dari karyanya “Ibuku Laut Berkobar” (puisi, 1997) sampai dengan ‘Mikraj Odyssey” (novel, 2009).
Dalam novel PBS, ia ingin menegaskan bahwa perempuan harus punya kemandirian dan menguasai ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuanlah yang menentukan nasib perempuan.
Akar permasalahan perempuan harus disuarakan sekeras-sekerasnya ke permukaan, harus ada revolusi pemikiran bahwa masalah ini adalah sesuatu yang mendesak, soal penderitaan dan keterpinggiran perempuan dan solusi ke depan untuk menyikapi kondisi tersebut.

Mengenai Isi Novel
Sebenarnya jika kita telusuri perkembangan sastra di Indonesia, sudah banyak novel yang mengulas masalah-masalah keperempuanan. Contoh novelisnya : NH Dini, Ratna Indahswara Ibrahim, dll.
Dan topik yang diangkat dalam novel ini pun sudah merupakan konsumsi kita dalam kehidupan sehari-hari, mengenai hak-hak reproduksi perempuan.
Penulis menggunakan kata-kata yang ringan dan menceritakan kejadian dari sudut pandang sebagai pelaku utama (An-Nisa).
Pemeran protagonis (Annisa dan Lek Khudhori) mempunyai karakter yang kuat, masing-masing berkenaan dengan karakter perempuan yang mempunyai “need of success”, keingintahuan dan kekuatan dalam menghadapi “social rejection” yang tinggi, dan karakter laki-laki yang benar-benar diidam-idamkan oleh setiap perempuan (pintar, lembut, penyayang dan rendah hati).

Pemeran antagonis (Kiai Hanan, Samsuddin) yang merepresentasikan orang-orang yang paham tentang Islam (hanya secara tekstual), namun secara konteks tidak menganut sistem humanis dalam setiap perilakunya.
Pemilihan model penulisan yang sederhana, dengan meletakkan semua pemasalahan di awal novel dan memberikan solusi dari setiap permasalahan tersebut di akhir.
Dengan menempatkan porsi dialektis pemeran antagonis yang kuat di awal, pembaca digiring untuk berfikir bahwa banyak permasalahan di sekitar kehidupan pesantren (di luar pesantren juga) yang kurang memberikan peluang kepada perempuan untuk mengapresiasikan diri.
Dogma-dogma yang kuat mengikat terdapat pada bahasan mengenai pembagian aktivitas antara laki-laki dan perempuan, misalnya hal yang pantas dilakukan; menunggang kuda adalah kepantasan untuk laki-laki sedang untuk perempuan tidak (hal.7); memasak, mencuci, mengurus anak adalah kepantasan untuk perempuan sementara laki-laki tidak; bekerja mencari nafkah adalah kewajiban laki-laki, sementara perempuan memiliki kewajiban untuk mengurusi urusan rumah tangga (hal.12).

Bahasan mengenai fiqh yang tidak ramah terhadap perempuan, misalnya perempuan yang menstruasi dilarang masuk ke mesjid (hal.73), tentang jimak (hal.79), hak ijbar orang tua atas anak perempuannya (hal.90) dan potongan hadist yang menyatakan bahwa istri akan diazab bila minta cerai (hal.76).
Kasus KDRT yang dilakukan oleh Samsudin terhadap Annisa karena adanya nusyuz oleh Annisa terhadap Samsudin adalah puncak permasalahan yang ditampilkan dalam novel PBS.
Selain itu, terdapat kasus poligami yang dijalankan tidak sesuai dengan yang diajarkan dalam syariat Islam, misal pembagian hak istri antara Annisa dan Kalsum (hal.117).

Di tengah penceritaan novel PBS, sudah ada beberapa solusi yang ditawarkan oleh tokoh protagonis (Lek Khudhori), misalnya mengenai ijma’ (hal.170), tentang Al-Quran dan Fiqh (hal.171), hak ijbar orang tua (hal.177), pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga (hal.175).
Pembahasan dalam dua bab terakhir yang mengisahkan tentang kehidupan rumah tangga yang mawaddah wa rahmah yang dialami oleh dua pihak yang faham masalah kedudukan dan perannya masing-masing dan aktivitas keduanya di tengah-tengah masyarakat.
Intinya, novel ini selesai dalam menceritakan satu gambaran tentang kondisi kehidupan di kalangan pesantren khususnya dan masyarakat umumnya.

Penilaian Tentang Novel
Abidah El Khalieqy cukup kuat komitmennya untuk menjadikan karya satra sebagai alat kampanye media.
Tentu ini terlepas dari perdebatan tak pernah usai, antara seni untuk seni dan seni untuk kerja-kerja perubahan.
Tetapi novel Perempuan Berkalung Sorban, karya Abidah el Khalieqy, memberikan harapan yang cukup kuat untuk kerja-kerja perubahan, yang sebagiannya adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Sedikit Ulasan Mengenai Perempuan dan Gender
Dalam kajian antropologis Marxis, perempuan diposisikan sebagai alat produksi (means of production).
Perempuan dijadikan “alat produksi”, mesin pencetak manusia.
Menurut paradigma Marxis, jika kita ingin menguasai dunia maka kita harus menguasai alat produksi.
Jadi siapa yang dapat menguasai perempuan (“means of production” manusia) maka ia dapat menguasai banyak manusia.
Oleh karena itu, perempuan harus dikuasai, kedudukan sosial politiknya harus diperlemah.
Menurut kaum Marxis di situlah peran adat dan agama, memperlemah kedudukan perempuan agar dapat dikuasai laki-laki atau masyarakat patriakis.
Netralitas dalam positivisme hukum mengatakan bahwa harus ada kontrak sosial antara laki-laki dan perempuan untuk legitimasi norma sosial tentang hubungan laki-laki dan perempuan ke berbagai bentuk peraturannya.
Tidak boleh mempersoalkan apakah norma sosial pembagian kerja secara seksual tersebut adil.
Penganut teori positivisme hukum menganggap hukum sebagai potret dari realitas sosial atau bahkan realitas sosial itu sendiri.
Maka, untuk mengetahui bentuk pembagian kerja secara seksual (pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara laki-laki dan perempuan) yang sedang berlaku di Indonesia sekarang, seseorang dianggap cukup membaca-misalnya-KUHPerdata, UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan beberapa pasal dalam KUHPidana.
Padahal jika kita telisik lagi pasal-pasal dalam KUHPerdata, ada beberapa pasal yang sebenarnya masih bias gender.
Pasal 139 KUHPerdata memungkinkan suami-istri mengadakan perjanjian kawin (suatu perjanjian yang memungkinkan suami-istri secara individual mengelola harta kekayaan masing-masing), ini memungkinkan istri mandiri secara ekonomi.
Namun ini segera disangkal oleh pasal 140KUHPerdata yang menyatakan perjanjian kawin tersebut tidak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan kepada suami sebagai suami.
Maksudnya sesuai dengan pasal 105 KUHPerdata yang menyatakan “suami adalah kepala persatuan suami-istri” dan dengan demikian ‘suami wajib menjadi wali istrinya untuk menghadap ke hakim”
Suami wajib mengemudikan harta kekayaan milik pribadi istrinya, tapi setiap bentuk pemindahan tangan harta tersebut harus mendapat persetujuan istrinya.
KUHPidana Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang mempunyai individualitas seperti laki-laki.
Pasal 285 tentang perkosaan, mengisyaratkan korban bukan istri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk hubungan seksual. Dengan kata lain, kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak dalam bentuk hubungan seksual, tidak akan dianggap sebagai kejahatan terhadap HAM perempuan.
Padahal UU Penghapusan KDRT No. 7/1984 sebagai ratifikasi konvensi CEDAW sangat komprehensif mengatur larangan diskriminasi terhadap perempuan hampir di segala bidang kehidupan.
Namun terdapat jurang antara das sollen (apa yang ahrus dikehendaki terjadi oleh hukum dengan das sein (implementasinya dalam kehidupan sehari-hari).

Produk Islam tentang Hak-Hak Reproduksi Perempuan
Rumusan definisi perkawinan dalam fiqh secara eksplisit menempatkan perempuan hanya sebagai objek seksual, sebagai barang milik yang berhak dinikmati (milk al-mut’ah, milk al-budh).
Menurut mazhab hanafi, hak menikmati seks itu merupakan hak laki-laki, bukan hak perempuan. Maka suami boleh memaksa istri untuk melayani keinginan seksualnya.

Padahal dalam Al-Quran terdapat 5 prinsip dalam pernikahan :
Prinsip monogami : an-Nisa (4:3,129)
Prinsip cinta dan kasih sayang : Ar-Ruum (30:21)
Prinsip saling melengkapi dan melindungi : Al-Baqarah (2:187)

Prinsip pergaulan yang sopan dan santun : An-Nisa (4:19), At-Taubah (9:24), al-hajj (22:13)
Prinsip dasar dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan.

Al-Quran juga menjelaskan tentang :
Perkawinan sebagai perjanjian suci dan serius antara laki-laki dan perempuan :
Al-Ahzab (33:7), an-Nisa (4:21 & 154)
Hubungan egalitarian antara suami istri : Az-zariyat (51:49), Fatir (35
:11), An-Naba (78:78), An-Nisa (4:20), Yasin (36:36), As-Syura (26:11), Az-Zukhruf (43:12), Al-Baqarah (2:187), An-Najm (53:53)

Penutup
Kalau kondisi yang diceritakan dalam novel PBS adalah realitas yang ada di Indonesia, maka yang harus direvolusi adalah adat tradisi bangsa kita !
Artinya kalau perempuan Indonesia ingin membebaskan diri dari pelecehan terhadap dirinya dia harus meninggalkan adat tradisinya atau budayanya sendiri.
Apakah kita siap meluncur ke sana?
Atau kita harus memilah-milah, melakukan retruksturisasi atau reinterpretasi dan memodifikasi semua itu.

So, Welcome Perubahan…

Puspita Sari
(disampaikan pada bedah buku Kohati HMI Komisariat FKG USU, 05 April 2009)

0 komentar: