Latar Belakang Penulisan Novel
Penulisan Novel “Perempuan Berkalung Sorban” dilatarbelakangi oleh ide Yayasan kesejahteraan Fatayat, LSM milik Nahdlatul Ulama Yogyakarta untuk membuat novel tentang pemberdayaan perempuan.
Tujuan penulisan novel tersebut adalah untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi perempuan yang diratifikasi oleh PBB.
Sumber fakta yang dikumpulkan untuk menggambarkan setting tempat dan yang fisik-fisik dilakukan di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah, yang salah satu di antara perkampungan tersebut terdapat pesantren salaf, di pegunungan dan ditemukan banyak orang-orang yang menunggang kuda.
Misi yang Diusung Penulis
Dilatarbelakangi oleh kondisi perempuan-perempuan yang ada di Indonesia dan budaya patriarkis yang masih melekat pada tradisi dan aktivitas di tengah-tengah masyarakat.
Ketertarikan penulis pada permasalahan feminisme melatarbelakangi seluruh karya tulisnya, mulai dari karyanya “Ibuku Laut Berkobar” (puisi, 1997) sampai dengan ‘Mikraj Odyssey” (novel, 2009).
Dalam novel PBS, ia ingin menegaskan bahwa perempuan harus punya kemandirian dan menguasai ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuanlah yang menentukan nasib perempuan.
Akar permasalahan perempuan harus disuarakan sekeras-sekerasnya ke permukaan, harus ada revolusi pemikiran bahwa masalah ini adalah sesuatu yang mendesak, soal penderitaan dan keterpinggiran perempuan dan solusi ke depan untuk menyikapi kondisi tersebut.
Mengenai Isi Novel
Sebenarnya jika kita telusuri perkembangan sastra di Indonesia, sudah banyak novel yang mengulas masalah-masalah keperempuanan. Contoh novelisnya : NH Dini, Ratna Indahswara Ibrahim, dll.
Dan topik yang diangkat dalam novel ini pun sudah merupakan konsumsi kita dalam kehidupan sehari-hari, mengenai hak-hak reproduksi perempuan.
Penulis menggunakan kata-kata yang ringan dan menceritakan kejadian dari sudut pandang sebagai pelaku utama (An-Nisa).
Pemeran protagonis (Annisa dan Lek Khudhori) mempunyai karakter yang kuat, masing-masing berkenaan dengan karakter perempuan yang mempunyai “need of success”, keingintahuan dan kekuatan dalam menghadapi “social rejection” yang tinggi, dan karakter laki-laki yang benar-benar diidam-idamkan oleh setiap perempuan (pintar, lembut, penyayang dan rendah hati).
Pemeran antagonis (Kiai Hanan, Samsuddin) yang merepresentasikan orang-orang yang paham tentang Islam (hanya secara tekstual), namun secara konteks tidak menganut sistem humanis dalam setiap perilakunya.
Pemilihan model penulisan yang sederhana, dengan meletakkan semua pemasalahan di awal novel dan memberikan solusi dari setiap permasalahan tersebut di akhir.
Dengan menempatkan porsi dialektis pemeran antagonis yang kuat di awal, pembaca digiring untuk berfikir bahwa banyak permasalahan di sekitar kehidupan pesantren (di luar pesantren juga) yang kurang memberikan peluang kepada perempuan untuk mengapresiasikan diri.
Dogma-dogma yang kuat mengikat terdapat pada bahasan mengenai pembagian aktivitas antara laki-laki dan perempuan, misalnya hal yang pantas dilakukan; menunggang kuda adalah kepantasan untuk laki-laki sedang untuk perempuan tidak (hal.7); memasak, mencuci, mengurus anak adalah kepantasan untuk perempuan sementara laki-laki tidak; bekerja mencari nafkah adalah kewajiban laki-laki, sementara perempuan memiliki kewajiban untuk mengurusi urusan rumah tangga (hal.12).
Bahasan mengenai fiqh yang tidak ramah terhadap perempuan, misalnya perempuan yang menstruasi dilarang masuk ke mesjid (hal.73), tentang jimak (hal.79), hak ijbar orang tua atas anak perempuannya (hal.90) dan potongan hadist yang menyatakan bahwa istri akan diazab bila minta cerai (hal.76).
Kasus KDRT yang dilakukan oleh Samsudin terhadap Annisa karena adanya nusyuz oleh Annisa terhadap Samsudin adalah puncak permasalahan yang ditampilkan dalam novel PBS.
Selain itu, terdapat kasus poligami yang dijalankan tidak sesuai dengan yang diajarkan dalam syariat Islam, misal pembagian hak istri antara Annisa dan Kalsum (hal.117).
Di tengah penceritaan novel PBS, sudah ada beberapa solusi yang ditawarkan oleh tokoh protagonis (Lek Khudhori), misalnya mengenai ijma’ (hal.170), tentang Al-Quran dan Fiqh (hal.171), hak ijbar orang tua (hal.177), pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga (hal.175).
Pembahasan dalam dua bab terakhir yang mengisahkan tentang kehidupan rumah tangga yang mawaddah wa rahmah yang dialami oleh dua pihak yang faham masalah kedudukan dan perannya masing-masing dan aktivitas keduanya di tengah-tengah masyarakat.
Intinya, novel ini selesai dalam menceritakan satu gambaran tentang kondisi kehidupan di kalangan pesantren khususnya dan masyarakat umumnya.
Penilaian Tentang Novel
Abidah El Khalieqy cukup kuat komitmennya untuk menjadikan karya satra sebagai alat kampanye media.
Tentu ini terlepas dari perdebatan tak pernah usai, antara seni untuk seni dan seni untuk kerja-kerja perubahan.
Tetapi novel Perempuan Berkalung Sorban, karya Abidah el Khalieqy, memberikan harapan yang cukup kuat untuk kerja-kerja perubahan, yang sebagiannya adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sedikit Ulasan Mengenai Perempuan dan Gender
Dalam kajian antropologis Marxis, perempuan diposisikan sebagai alat produksi (means of production).
Perempuan dijadikan “alat produksi”, mesin pencetak manusia.
Menurut paradigma Marxis, jika kita ingin menguasai dunia maka kita harus menguasai alat produksi.
Jadi siapa yang dapat menguasai perempuan (“means of production” manusia) maka ia dapat menguasai banyak manusia.
Oleh karena itu, perempuan harus dikuasai, kedudukan sosial politiknya harus diperlemah.
Menurut kaum Marxis di situlah peran adat dan agama, memperlemah kedudukan perempuan agar dapat dikuasai laki-laki atau masyarakat patriakis.
Netralitas dalam positivisme hukum mengatakan bahwa harus ada kontrak sosial antara laki-laki dan perempuan untuk legitimasi norma sosial tentang hubungan laki-laki dan perempuan ke berbagai bentuk peraturannya.
Tidak boleh mempersoalkan apakah norma sosial pembagian kerja secara seksual tersebut adil.
Penganut teori positivisme hukum menganggap hukum sebagai potret dari realitas sosial atau bahkan realitas sosial itu sendiri.
Maka, untuk mengetahui bentuk pembagian kerja secara seksual (pembagian kerja di masyarakat dan rumah tangga antara laki-laki dan perempuan) yang sedang berlaku di Indonesia sekarang, seseorang dianggap cukup membaca-misalnya-KUHPerdata, UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan beberapa pasal dalam KUHPidana.
Padahal jika kita telisik lagi pasal-pasal dalam KUHPerdata, ada beberapa pasal yang sebenarnya masih bias gender.
Pasal 139 KUHPerdata memungkinkan suami-istri mengadakan perjanjian kawin (suatu perjanjian yang memungkinkan suami-istri secara individual mengelola harta kekayaan masing-masing), ini memungkinkan istri mandiri secara ekonomi.
Namun ini segera disangkal oleh pasal 140KUHPerdata yang menyatakan perjanjian kawin tersebut tidak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan kepada suami sebagai suami.
Maksudnya sesuai dengan pasal 105 KUHPerdata yang menyatakan “suami adalah kepala persatuan suami-istri” dan dengan demikian ‘suami wajib menjadi wali istrinya untuk menghadap ke hakim”
Suami wajib mengemudikan harta kekayaan milik pribadi istrinya, tapi setiap bentuk pemindahan tangan harta tersebut harus mendapat persetujuan istrinya.
KUHPidana Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang mempunyai individualitas seperti laki-laki.
Pasal 285 tentang perkosaan, mengisyaratkan korban bukan istri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk hubungan seksual. Dengan kata lain, kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak dalam bentuk hubungan seksual, tidak akan dianggap sebagai kejahatan terhadap HAM perempuan.
Padahal UU Penghapusan KDRT No. 7/1984 sebagai ratifikasi konvensi CEDAW sangat komprehensif mengatur larangan diskriminasi terhadap perempuan hampir di segala bidang kehidupan.
Namun terdapat jurang antara das sollen (apa yang ahrus dikehendaki terjadi oleh hukum dengan das sein (implementasinya dalam kehidupan sehari-hari).
Produk Islam tentang Hak-Hak Reproduksi Perempuan
Rumusan definisi perkawinan dalam fiqh secara eksplisit menempatkan perempuan hanya sebagai objek seksual, sebagai barang milik yang berhak dinikmati (milk al-mut’ah, milk al-budh).
Menurut mazhab hanafi, hak menikmati seks itu merupakan hak laki-laki, bukan hak perempuan. Maka suami boleh memaksa istri untuk melayani keinginan seksualnya.
Padahal dalam Al-Quran terdapat 5 prinsip dalam pernikahan :
Prinsip monogami : an-Nisa (4:3,129)
Prinsip cinta dan kasih sayang : Ar-Ruum (30:21)
Prinsip saling melengkapi dan melindungi : Al-Baqarah (2:187)
Prinsip pergaulan yang sopan dan santun : An-Nisa (4:19), At-Taubah (9:24), al-hajj (22:13)
Prinsip dasar dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan.
Al-Quran juga menjelaskan tentang :
Perkawinan sebagai perjanjian suci dan serius antara laki-laki dan perempuan :
Al-Ahzab (33:7), an-Nisa (4:21 & 154)
Hubungan egalitarian antara suami istri : Az-zariyat (51:49), Fatir (35
:11), An-Naba (78:78), An-Nisa (4:20), Yasin (36:36), As-Syura (26:11), Az-Zukhruf (43:12), Al-Baqarah (2:187), An-Najm (53:53)
Penutup
Kalau kondisi yang diceritakan dalam novel PBS adalah realitas yang ada di Indonesia, maka yang harus direvolusi adalah adat tradisi bangsa kita !
Artinya kalau perempuan Indonesia ingin membebaskan diri dari pelecehan terhadap dirinya dia harus meninggalkan adat tradisinya atau budayanya sendiri.
Apakah kita siap meluncur ke sana?
Atau kita harus memilah-milah, melakukan retruksturisasi atau reinterpretasi dan memodifikasi semua itu.
So, Welcome Perubahan…
Puspita Sari
(disampaikan pada bedah buku Kohati HMI Komisariat FKG USU, 05 April 2009)
Bedah Buku "Perempuan Berkalung Sorban"
Kebijakan Publik Responsif Gender
Konsep Dasar
Mexico Declaration, 1975
”Women have a vital role in the promotion of peace in all sphares of life, in the family, the community, the nation, and the world. Women must participate equally with men in the decision making process which help to promote peace at all the levels”.
Problem Dasar
- Sosial
Persepsi yang berbeda antar perempuan dan laki-laki mengenai peran sosialnya. Misalnya, perempuan sebagai pengurus rumah tangga, laki-laki-laki sebagai kepala rumah tangga; perempuan sebagai pengasuh anak, pengurus rumah tangga, sosok yang lemah; sedangkan laki-laki sebagai pelindung, penjaga keamanan, figur yang kuat, dsb.
- Politik
Pembedaan cara dimana laki-laki dan perempuan berbagi kekuasaan dan otoritas di ruang publik. Biasanya laki-laki berkiprah di level politik nasional dan politik tingkat tinggi; sedangkan perempuan lebih banyak bergerak di level politik lokal dan aktivitas yang berkaitan dengan peran domestik.
- Pendidikan
Pembedaan dalam hal kesempatan mendapatkan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Kebanyakan sumber keuangan keluarga diarahkan bagi pendidikan anak laki-laki, sementara anak perempuan tidak diarahkan untuk mendapatkan tantangan akademik.
- Ekonomi
Pembedaan akses antara perempuan dan laki-laki dalam hal pencapaian karir dan kontrol terhadap sumber daya maupun pengelolaan keuangan, serta sumber-sumber produktif lainnya, misalnya kredit, pinjaman, atau kepemilikan tanah.
- Agama
Penafsiran yang berbeda atau pemahaman yang kurang lengkap terhadap dalil agama akan mewarnai serta mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku menyangkut posisi laki dan perempuan
Realisasi Gender di Indonesia
Rendahnya Indek Pembangunan Gender di Indonesia
(Urutan ke-87 di dunia)
Human Development Index : 65,8
Gender Related Development : 59,2
Gender Empowerment : 54,6
Rendahnya Tingkat Partisipasi di bidang Politik Ekonomi dan Pengambilna Keputusan. Indonesia 32 Gubernur tidak ada perempuan. Sumut 23 Kab/Kota tidak ada perempuan.
Pemilu 1997 : 13%
Pemilu 2004 : 11,8%
Pemilu 2009 : ?
Jumlah PNS perempuan : 36,9 %
Menduduki jabatan struktural : 15 %
Inisatif
UU No 7 / 1984
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tahun 2004
PP No 9/2000 Gender Mainstreaming: Pengarusutamaan Gender
Model ARG (Anggaran Responsif Gender) sejak thn 2000
Kebijakan Publik
Women in Development(WID)
Fokus: Perempuan
Problem: Perempuan tidakdiikutsertakan dalam proses pembangunan
Tujuan: Pembangunan yang lebih efektif dan efisien
Strategi: Proyek-proyek Perempuan; Komponen Perempuan; Meningkatkan pendapatan perempuan; Meningkatkan keterampilan perempuan mengurus rumah tangga
Gender And Development(GAD)
Fokus: Relasi Perempuan dan Laki2
Problem: Relasi kekuasaan yg tidak seimbang menghalangi pembangunan yang adil dan partisipasi seluruh kalangan
Tujuan: Equitable, perempuan dan laki-laki berbagi kekuasaan secara setara, seimbang dan berkelanjutan
Strategi:Mengidentifikasi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang yang diputuskan secara bersama-sama oleh kelompok laki-laki dan perempuan, dan mengatasinya untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Rekomendasi
Gender Mainstreaming
(Pengarusutamaan Gender)
Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender.
Memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dan bias gender.
Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun non pemerintah sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing.
Pengarusutamaan Gender akan berhasil, jika sudah dilaksanakan oleh semua kalangan masyarakat baik yang tergabung dalam lembaga pemerintah (departemen dan non departemen), organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi keagamaan maupun pada unit masyarakat yang terkecil yaitu keluarga.
Sasaran utama PUG sesuai Inpres No.9 tahun 2000 adalah Lembaga Pemerintah, BUMN dengan kewenangan yang dimiliki, Organisasi Swasta, Organisasi Profesi, Organisasi Keagamaan dsb.
Memperkuat kelembagaan, koordinasi dan jaringan pengarustamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan,pemantauan dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di segala bidan, termasuk pemenuhan komitmen – komitmen internasional, serta peningkatan partisipasi masyarakat.
Menganalisa data dan informasi secara sistematis perempuan dan laki untuk mengidentifikasi kedudukan, fungsi, peran, dan tanggung jawabnya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dr. phil. Zainul Fuad, MA
Dosen IAIN SU
Direktur Eksekutif Institute for Peace and
Human Rights IAIN SU
(disampaikan pada Sarasehan Politik Perempuan Kohati HMI Cabang Medan di Binagraha Pemprovsu, 04 April 2009)
Perspektif Gender dalam Regulasi Kesehatan
Hak dan Kewajiban
Konstitusi WHO (1946) menyatakan bahwa kesehatan adalah hak azasi, manusia yang fundamental. Hal ini kemudian ditegaskan kembali dalam deklarasi Alma Ata (1978) dan Deklarasi Kesehatan Sedunia (1998).
UUD RI Tahun 1945
Kesehatan adalah hak azasi berarti :
Pemerintah menjamin ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessability) pemeliharaan kesehatan untuk semua secepat mungkin. (WHO-Health and Human Right Publ. Serien No. I. July 2002)
KESEHATAN IBU DAN ANAK INVESTASI SDM
2.1. Kesehatan ibu dan anak berkontribusi besar kepada INDIKATOR KESEJAHTERAAN BANGSA (HDI):
(1) Umur harapan hidup,
(2) Melek Huruf,
(3) Income/kapita
HDI Indonesia 110 dari 160 negara 2005
Umur Harapan Hidup dipengaruhi oleh
Angka kematian kasar
Angka kematian ibu (AKI)
Angka kematian bayi (AKB)
Angka kematian balita (AKABA)
Artinya:
setiap jam, 2 Ibu Indonesia meninggal
46 dari 1,000 anak Indonesia akan meninggal sebelum ulang-tahunnya yang ke lima:
Artinya lebih dari 225,000 anak Indonesia di bawah 5 tahun meninggal setiap tahun
atau 25 anak di bawah 5 tahun meninggal setiap jam
Kesehatan Ibu & nak dan MDGs
Tujuan 4: Kurangi Kematian Anak
Menurunkan 2/3 kematian balita 1990-2015
Indikator:
AKB
AKABA
Proposi bayi mendapakan imunisasi campak
Tujuan 5: Peningkatan KIA
Menurunkan ¾ AKI dibandingkan antara tahun 1990 - 2015
Indikator
Ratio Angka Kematian Ibu
Proporsi persalinan oleh LINAKES
PROGRAM APA YANG PRIORITAS UNTUK MENURUNKAN AKI & AKB ?
Masalah
Kompetensi SDM masih kurang
Integrasi belum optimal
Monev belum optimal
Dukungan dana yang masih kurang
Pemberdayaan masyarakat masih belum optimal
Sarana dan prasarana belum memadai/kompetensi /sesuai standar
Pemecahan Masalah
Meningkatkan kemampuan SDM dengan pelatihan
Koordinasi dengan organisasi profesi/sektor/program
Meningkatkan monev program
Dukungan Dana APBD Prop maupun kabupaten/kota
Peningkatan pemberdayaan masyarakat
Standarisasi /sarana dan prasarana
Tragedi Nasional
Di Indonesia setiap tahun terjadi 18,300 kematian ibu atau setiap hari terjadi 50 kematian ibu
Di Sumatera Utara setiap tahun tahun terjadi 132 kematian ibu ???
Mengapa Tragedi ini hrs terjadi ???
Padahal pengetahuan dan teknologi untuk mencegah kematian telah tersedia
Apa yang Harus Dilakukan?
Melaksanakan Strategi Percepatan Penurunan AKI dan AKB
Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kes. Ibu, bayi baru lahir dan Balita yg cost efektif didukung oleh:
Kerjasama lintas program dan lintas sektor terkait, mitra lain, pemerintah, DPR, Organisasi Profesi, swasta
Pemberdayaan perempuan dan keluarga
Pemberdayaan masyarakat
Jika Persalinan oleh nakes rendah (<85%), peningkatan Linakes akan menurunkan AKI
Untuk meningkatkan Linakes, penelitian dan pengalaman menujukkan perlu:
peningkatan distribusi tenaga kesehatan
(insentif untuk mengunjungi daerah sulit)
menurunkan hambatan biaya (memperluas askes)
menurunkan hambatan kultural
Di wilayah di mana Linakes cukup memadai,
peningkatan ketrampilan tenaga kesehatan adalah
cara terbaik untuk menyelamatkan jiwa. Contohnya:
Manajemen kala tiga oleh seorang bidan dapat
mengurangi 60% kematian karena perdarahan
Mengetahui tanda–tanda awal dan
melaksanakan rujukan
kegawat-daruratan ke fasilitas yang
memadai dapat mengurangi 30-80%
kematian Ibu dari infeksi dan eklampsia
Kesimpulan
Kematian Ibu:
Untuk menurunkan AKI nasional dari 307/100,000 menjadi mencapai MDG (125/100,000), Indonesia harus :
Meningkatkan cakupan Linakes Terampil menjadi 85%
Meningkatkan keterampilan Bidan dalam PONED dan PONEK
Demikian juga program mencegah anak mati sudah ada program-program cost efektif
Imunisasi TT2 pada ibu hamil dapat mencegah 100% kematian Bayi Baru Lahir karena tetanus.
Pemberian ASI Segera selama sebulan, tanpa makanan tambahan lainnya, dapat mencegah 22% bayi dari kematian BBLR.
Linakes terlatih akan mampu meresusitasi bayi dengan asfiksi, serta mencegah infeksi terjadi pada saat pasca-persalinan. Pada kunjungan neonatal (KN1), Linakes terlatih dapat mengatasi infeksi pada bayi.
Tindakan tersebut dapat mencegah 30% kematian bayi baru lahir karena asfiksi, serta 90% kematian karena infeksi.
Kebiasaan cuci tangan dengan sabun dapat mencegah hingga 46% kasus diare pada balita, dan dapat mencegah 33% kematian karena diare.
Pelaksanaan protokol “menejemen terpadu bayi sakit” (MTBS) dapat mencegah 60% kematian anak akibat ISFA/Pneumonia.
Akan tetapi, pendekatan MTBS belum jalan dengan baik di Indonesia, dan akan memerlukan investasi yang cukup besar.
Immunisasi lengkap pada Bayi di bawah 2 tahun (UCI) dapat menurunkan kematian dari campak sebanyak 86%
Karena itu, program gizi juga penting. ASI Eksklusif adalah salah satu intervensi gizi yang paling efektif, dan dapat menurunkan kematian Balita yang terkait gizi buruk sebanyak 10%.
Kematian Anak
Untuk menurunkan AKA dan mencapai MDG (15/1,000), Indonesia memerlukan:
Menurunkan kematian bayi baru lahir melalui TT2, Persalinan Linakes dan pemberian ASI
Meningkatkan perilaku sehat, terutama pemberian ASI dan cuci tangan
Meningkatkan cakupan immunisasi
Memperluas pelayanan MTBS
Keuntungan Investasi pada Ibu dan Anak
Meningkatkan kesejahteraan:
HDI
Mengurangi beban berat keluarga
Menciptakan SDM yang berkualitas
Menjalankan mandat Konstitusi
Menjalankan mandat UU:
Menjalankan Mandat global
Efektifitas Anggaran Pendidikan
Apa yang harus Diperbuat oleh Legislatif?
Semua program di atas sudah ada dan sudah cukup lama dikenal di Indonesia, tapi mengapa masih tinggi AKI dan AKB di Indonesia?
Fungsi budgetting: Cukupi anggaran untuk pelaksanaan program tersebut dengan:
Lengkapi input menurunkan AKI:
Nakes berkompeten
Bidan di desa (polindes dan desa siaga)
Dokter di puskesmas
Dokter kebidanan dan kandungan di RS rujukan
Pelatihan yang belum kompeten
Alat yang cukup
Obat yang cukup
Ketersediaan darah
Bebaskan hambatan biaya transportasi dan biaya RS
Cukupkan biaya operasional
Legislasi: Bagi peran antara daerah dan pusat baik dari sisi pelaksanaan mau pun pendanaan
Monitoring: awasi seluruh pelaksanaan pada program-program yang cost efektif dan anggaran banyak habis di tingkat bawah serta Libatkan masyarakat baik dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan DENGAN UKURAN KINERJA
PP 25/2000
Wewenang Pusat:
Standar gizi, sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi
Pedoman pembiayaan kesehatan
Standar akreditasi sarana dan prasarana
Standar pendidikan & pendayagunaan nakes
Pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan, dan pengawasan tanaman obat
Pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi dan standar etika penelitian
Pemberian izin, pengawasan obat dan industri farmasi
Penetapan persyaratan pengunaan zat adiktif dan pengawasan makanan
Penetapan kebijakan JPKM
Survailans epidemiologi, pengaturan, penanggulangan wabah, penyakit menular, dan KLB
Penyediaaan obat esensial.
Kewenangan provinsi :
Pedoman penyuluhan/kampanye kesehatan
Kelola dan izin RS khusus
Sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi
Survailans dan penanganan wabah dan KLB
Penempatan tenaga strategis, pindah tenaga khusus antar kabupaten, pendidikan dan pelatihan
Wewenang Kabupaten/Kota:
Tidak ada aturan setingkat PP atau Perpres
Yang ada: SK Menkes 1457/2003 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM)
Akibatnya:
Kurang “greget” karena daerah kurang patuh atau tidak ada konsekuensi. Akhirnya, banyak daerah kurang bahkan tidak mendanai program KIA.
Eksekutif perlu membenahi :
Peningkatan Akses dan kualitras pemberian pelayanan MNCH
Peningkatan kesadaran dan kemauan masyarakat menggunakan fasilitas pelayanan MNCH
Peningkatan kerja sama antara pemerintah dengan unsur swasta
Peningkatan kapasitas Dinkes kesehatan daerah
Fokus pada pelayan KIA esensial
KB
Immunisasi
Persalinan oleh tenaga kesehatan
Pelayanan obst/neonatal emergency
KIA
Gizi bumil, menyusui, balita
MP-ASI (khusus ibu menyusui dari Gakin)
MTBS
Personal hygiene
Sanitasi/lingkungan rumah tangga
Pembangunan kesehatan ibu dan anak merupakan investasi jangka panjang
Investasi ini tidak dapat diperlihatkan secara fisik kepada masyarakat butuh komitmen yang tinggi terhadap generasi penerus bangsa dari legislatif dan eksekutif
Biayai program kesehatan ibu dan anak yang cukup
PERLU PERSPEKTIF GENDER UNTUK PROGRAM KESEHATAN BAGI CALEG PEREMPUAN
Dr.H.DELYUZAR Sp.PA(K)DIREKTUR JKM(JARINGAN KESEJAHTERAAN/KESEHATAN MASYARAKAT)
(disampaikan pada Sarasehan Politik Perempuan Kohati HMI Cabang Medan di Binagraha Pemprovsu, 04 April 2009)
Perspektif Gender dalam Regulasi Pendidikan
Pendahuluan
Pendiri Negara menempatkan pendidikan sebagai tujuan Negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia (laki-laki dan perempuan)
Kualitas sumberdaya manusia dapat ditentukan dan ditingkatkan melalui pendidikan (formal, non-formal dan informal).
Kesenjangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan masih ditemukan diberbagai bidang termasuk pendidikan, walaupun Indonesia pernah dipimpin presiden perempuan.
Posisi perempuan belum berada pada posisi yang diharapkan dan belum menggembirakan.
Data statistik menunjukkan bahwa perempuan masih tertinggal disegala bidang dan bahkan sengaja dikebelakangkan atau dipinggirkan.
Pengertian
Gender : ”genus” berarti tipe atau jenis.
Pengertian laki-laki dan perempuan yang dibuat oleh masyarakat /budaya
Bentukan masyarakat (konstruksi sosial) yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin, tercermin pada konsep tugas, fungsi dan peran.
Konstruksi sosial budaya mengenai sifat-sifat feminin (keibuan) dan maskulin (kelelakian) yang berbeda dikarenakan masyarakat itu beragam dan dinamis, sebab itu sifat-sifat gender bisa berbeda menurut tempat dan waktu.
KBBI: perspektif = sudut pandang
Perspektif gender: merupakan sudut pandang yang sudah memperhitungkan kepentingan perempuan dan laki-laki.
Perspektif Gender dalam Regulasi Pendidikan
Peraturan yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pendidilkan di Inonesia saat ini antara lain adalah:
UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen
UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Berbagai peraturan tentang pendidikan di Indonesia tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki atau dapat dikatakan netral gender tetapi hasil atau akibatnya masih bias gender.
Potret Perempuan Indonesia
HDI/IPM berada pada urutan 108 dari 177 (HDR 2006)
GDI/IPG berada pada urutan 81 dari 136 Negara (HDR 2006)
GEM/IDG mencapai nilai 61,3 (2005)
Buta Aksara (usia>15 thn) perempuan 12,4% dan laki-laki 5,6%
AKI 307/100.000 kelahiran hidup
TPAK perempuan 48,63% dan laki-laki 84,74%
Kerterwakilan perempuan di DPR 11,6%, DPD 21,9%, DPRD Provinsi 10%, DPRD KAB/KOTA 6%
Masih ada 21 UU dan puluhan perda yang bias gender
PNS perempuan 40,6%, hanya 12,3% eselon 1-3
Menteri 4, Gubernur 1, Bupati 9, Wakil Bupati 10, Walikota 1
Kasus-kasus kekerasan (KDRT), diskriminasi, trafiking dan eksploitasi
Kesenjangan Gender dalam Pendidikan
Akses dan Pemerataan
indikator: angka partisipasi sekolah (APS), angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi Murni (APM), angka buta aksara/angka melek aksara.
Mutu dan Relevansi
indikator: angka putus sekolah, angka mengulang kelas, keberadaan materi bahan ajar, proporsi menulis bahan ajar perempuan terhadap penulis laki-laki, proporsi siswa perempuan terhadap siswa laki-laki menurut program studi pada jenis pendidikan kejuruan dan jenjang pendidikan tinggi.
Manajemen pendidikan,
indikator: kebijakan , pelaksanaan kebijakan serta proporsi perempuan terhadap laki-laki dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Penutup
Regulasi pendidikan umumnya netral gender, tetapi hasilnya bias gender.
PUG pendidikan telah dilakukan dan sudah memasuki tahun ke delapan, tetapi perubahan sikap (perspektif gender atau sensitif gender) dari pengambilan keputusan belum memadai.
Masih perlu waktu untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Meuthia Fadila Fachruddin
Kepala PSGPA - Unimed
(disampaikan pada Sarasehan Politik Perempuan di Binagraha Pemprovsu, 04 April 2009)
"Fear of Success" di Kalangan Wanita Karir
“Fear of Success” (kekhawatiran untuk meraih sukses dikalangan wanita karir :
Merupakan disposisi yang stabil yang diperoleh pada awal kehidupan seseorang berkaitan dengan standar identitas jenis kelamin (Morgan 1984)
Timbul karena adanya dugaan yang realistik (pengalaman) terhadap konsekuensi negatip yang akan diterima oleh wanita karena penyimpangan terhadap norma-norma masyarakat
Sebab-sebab timbulnya “fear of success”
Ada dua jenis situasi kompetisi yang dihadapi wanita karir :
a. Non-Competitive Oriented Situation (Situasi orientasi yang tidak kompetitif)- Kompetisi untuk memenuhi target yang telah digariskan secara umum
b. Interpersonal Competitive achievement Oriented Situation (Situasi kompetisi antar pribadi)
kompetisi antar pribadi, sukses yang diperoleh seseorang, berarti kegagalan pada orang lain (pria)
situasi kompetisi yang kedua ini menampilkan sifat agresif dan maskulin, sehingga dalam situasi seperti ini wanita tidak tepat untuk terjun.
Harapan Masyarakat (Social Value Expectation) :
Wanita melayani orang lain, pekerjaan yang cocok ialah : ibu rumah tangga (full house wife)
kalau bekerja diluar rumah : guru, bidan atau perawat.
Dibidang ini, mereka boleh menunjukkan prestasi yang tinggi (non-interpersonal competition),jadi kompetisi yang tidak mengalahkan orang lain, terutama laki-laki
Dampak “fear of success” :
menutupi kemampuan agar tidak melampaui kemampuan laki-laki
menyesuaikan diri dengan antisipasi (harapan) masyarakat agar wanita tetap sebagai sub ordinate laki-laki.
Feminim dan Maskulin
Budaya telah menentukan sifat-sifatfeminine dan maskulin sbb :
Feminim Maskulin
-- tidak agresif -- agresif
-- tidak independent -- independent
-- penurut -- dominan
-- tidak kompetitif -- kompetitif
-- pasif -- aktip
-- sulit membuat -- dapat membuat
keputusan keputusan
-- tidak ambisius -- sangat ambisius
-- peka thd perasaan -- tidak peka
-- butuh pengamanan –- tidak butuh
Sosialisasi Peran Jenis Kelamin
Keluarga (secara struktural merupakan acuan pembentukan model & steriotip)
Media masa (menunjukkan konsekuensi apa yang dihadapi kalau wanita melanggar)
Teman sebaya (peer group) – berfungsi memberikan contoh aktual
Lingkungan Budaya, berperan besar dalam sosialisasi nilai-nilai, model, ganjaran dan steriotip peran jenis kelamin.
Perwujudan Tingkah laku “Fear of Success” :
Mengabaikan tugas
Menolak pemberian promosi
Mengalihkan bidang kegiatan
Bekerja pada pria (walupun wewenangnya melebihi kedudukannya)
Mendukung prestasi suami atau anaknya
Menurunkan prestasi kerja
Menjadi orang kedua dari seorang tokoh
Beberapa hasil penelitian :
1. Meutia Nauly (1992-1993) :
Penelitian dengan mengambil sample wanita karir (yang belum berumah tangga) dan berpendidikan minimal D-3/S-1 dilakangan etnik Batak, Jawa dan Minang, menunjukkan : Perbedaan tingkat FoS antara ketiga kelompok suku ini: Wanita Minang memiliki tingkat FoS yang paling rendah sesudah wanita Jawa dan Batak. Hal ini sesuai dengan perbedaan struktur wanita dalam kehidupan budaya ketiga kelompok etnis tersebut.
2. Usman Pelly (1992-1993) : Penelitian dikalangan mahasiswa kota Medan menunjukkan bahwa :
Kehidupan di kampus telah memberikan suasana lingkungan, struktur sosial dan akademik, yang memungkinkan wanita mengembangkan konsep diri seoptimal mungkin, tanpa khawatir adanya social rejection dari masyarakat kampus sendiri.
Sukses demi sukses yang diraih seorang mahasiswi dalam kompetisinya dengan mahasiswi atau mahasiswa, telah memberikan rasa oercaya diri, kepuasan dan penghargaan yang tinggi kepada diri sendiri. Pengalaman ini telah mengkondisikan rendahnya tingkat “FoS” dikalangan mahasiswi.
Wanita Calon Legeslatif (Pemilu 2008):
Wanita yang maju sebagai calon legislatif pada Pemilu 2008 ini tidak sepenuhnya dapat dianggap sebagai turun kemedan kompetitip dengan pria. Karena berdasarkan UU perempuan telah diberi jatah 30%.
Walaupun demikian ternyata sangat sedikit wanita yang belum berumah tangga (masih single) yang menjadi caleg. Hal ini menunjukkan, di kalangan wanita remaja masih tinggi tingkat “FoS”!
IMPLIKASI PENELITIAN
Situasi yang menantang prestasi adalah situasi yang selalu bersifat kompetitif, aggressive dan maskulin. Budaya kita selalu menganggap tidak sesuai dengan kewanitaan, karena itu masyarakat mendesak wanita agar menghindarinya, artinya juga menghindari sukses.
PROF DR USMAN PELLY MA
ANTROPOLOG UNIMED
(Disampaikan pada Sarasehan Politik Perempuan: Penyatuan Visi dan Capacity Building Para Caleg Perempuan Kota Medan di Binagraha Pemprovsu, 04 April 2009)